Nasional

Pakar Pendidikan: POP adalah Program Tambal Sulam

Channel9.id-Jakarta. Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Paat, menilai sengkarut Program Organisasi Penggerak (POP) menambah daftar kekacauan kebijakan di tubuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang digawangi Nadiem Makarim.

Sebelum POP, Jimmy menyebut program merdeka yang digaungkan Nadiem dinilainya sebagai komodifikasi istilah ‘merdeka belajar’.

“Istilah merdeka belajar Nadiem hanya sebatas dagangan istilah saja. Merusak visi pendidikan secara substantif,” kata Jimmy, Selasa (28/7/2020).

Kembali ke soal POP, Jimmy menilai POP adalah program tambal sulam. Kata dia, dulu Indonesia pernah membuat program serupa, tapi selalu tidak efektif.

“Itu kan sudah dilakukan sebetulnya. Dulu zaman kemerdekaan sifatnya membuat program cepat, termasuk program cepat untuk menyelesaikan masalah guru, jadi saat itu tidak berjangka panjang. Misalnya, Sekolah Guru B untuk [guru] yang tamat SD (Sekolah Rakyat, red), yang tahun 50-an. Sekolah ditambah 4 tahun. Lalu dilanjutkan Sekolah Guru A (SGA, 1964), cukup lama berlangsung [untuk guru lulusan SMP dan SGB], sampai program itu hilang,” kata Jimmy.

“Setelah dinilai tidak memecahkan persoalan sementara, SGA diubah menjadi SPG, lalu bubar, enggak ada lagi sekolah guru karena enggak memecahkan masalah, bubarlah sementara. Diploma lagi, D1, D2, sementara dibubarin lagi, itu tambal-sulam namanya,” tambahnya.

Jimmy mengatakan, untuk meningkatkan kualitas guru tidak harus dengan menggelar proses seleksi organisasi. Masih banyak akademisi di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)/eks-IKIP yang bisa diajak rembuk.

“Lembaga tenaga kependidikan, ada UNJ, UPI, UNS, Yogya, Semarang, Surabaya, dan sebagainya, itu yang harus dilihat, dengan menambah yang swasta. Duitnya Rp 500 miliar, lho. Pemerintah lebih baik panggilin saja itu, LPTK negeri, kan ada pengumpulannya tuh, rektor-rektor, panggil saja, rembuk,” kata Jimmy.

“Bilang ke para rektor, ‘Nih, saya punya duit Rp 500 m, nih, apa yang harus dilakukan? Lihat program bersama, kalau programnya kurang bagus, buatlah yang bagus, kumpulkanlah mereka para rektor, jadi tepat sasaran,” lanjutnya.

Program Organisasi Penggerak (POP) merupakan program pelatihan dan pendampingan bagi para guru untuk meningkatkan kualitas peserta didik dengan menggandeng banyak organisasi. Dari 4.464 ormas yang mengajukan proposal, terdapat 156 ormas yang lolos seleksi evaluasi.

Organisasi yang terpilih akan mendapat hibah untuk menunjang program makalah yang mereka ajukan. Kemendikbud membaginya menjadi kategori III yakni Gajah dengan bantuan maksimal Rp 20 miliar, kategori Macan sebesar Rp 5 miliar, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun. Target program ini adalah dua tahun.

Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation menjadi dua organisasi yang terpilih kategori Gajah. Keputusan ini menjadi polemik lantaran kedua perusahaan tersebut masuk dalam program CSR yang tak seharusnya didanai pemerintah.

Menurut pengamat politik Ubeidillah Badrun, program ini rentan disalahgunakan terutama menyangkut penggunaan anggaran negara. Dengan demikian bisa dikatakan POP bukan program untuk kemajuan pendidikan tetapi bancakan untuk para konglomerat.

“Organisasi CSR perusahaan besar mestinya membantu negara benahi dunia pendidikan dengan biaya mandiri bukan menggunakan uang negara,” ujar Ubedillah dalam keterangan tertulis, akhir pekan lalu.

IG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

54  +    =  63