Channel9.id – Jakarta. Jaringan GUSDURian mengutuk penyerangan acara Midodareni yang tengah berlangsung di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Kota Surakarta, karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid menyatakan, peristiwa ini menambah catatan buruk intoleransi di Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman.
“Apalagi beberapa waktu yang lalu, peristiwa intoleransi juga terjadi pada masyarakat adat di Kuningan, Jawa Barat. Hal ini sungguh ironis mengingat presiden Joko Widodo pernah menyerukan tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia,” katanya berdasar keterangan pers, Senin (10/8).
Diketahui sebelumnya, sekitar dua ratus orang menyerang acara Midodareni yang tengah berlangsung di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81 Kp. Mertodranan Rt 1/1 Kel/Kec. Pasar Kliwon Kota Surakarta, Sabtu, (8/8) malam.
Midodareni sendiri merupakan tradisi yang banyak dilakukan masyarakat Jawa tuk mempersiapkan pernikahan.
Dalam persitiwa ini, ratusan orang tiba-tiba mendatangi lokasi dan memaksa tuan rumah membubarkan acara tersebut. Mereka juga merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga. Sembari meneriakkan takbir, penyerang meneriakkan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal.
Adapun, tiga orang dilaporkan menjadi korban tindakan brutal kelompok tersebut, sehingga harus menjalani perawatan medis akibat luka-luka yang diderita.
Alissa menjelaskan, Syiah merupakan salah satu mazhab teologi dalam Islam yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, Syiah termasuk dalam kategori kelompok minoritas dan kerap menerima perlakuan diskriminatif.
Karena itu, GUSDURian meminta kepolisian setempat untuk menuntaskan kasus ini melalui mekanisme konstitusi.
“Sebagai lembaga negara, kepolisian harus menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan opsi harmoni sosial yang hanya akan melanggengkan praktik kekerasan di masa mendatang. Pelaku harus dihukum setimpal dengan undang-undang yang berlaku,” ujarnya.
Selain itu, GUSDURian meminta pemerintah daerah menjamin keamanan warga negara, khususnya yang berstatus sebagai kelompok rentan.
“Setiap jengkal wilayah Indonesia harus memberikan rasa aman kepada penduduknya. Negara memiliki tugas untuk mewujudkan keamanan bagi warga negara tersebut,” lanjutnya.
Kemudian, meminta tokoh agama setempat untuk bahu membahu menebar gagasan agama yang penuh rahmah. Menurut GUSDURian, Intoleransi terjadi salah satunya karena adanya ideologisasi nilai-nilai eksklusivisme yang dibalut dengan semangat keagamaan. Padahal sejatinya agama mengajarkan manusia untuk mensyukuri perbedaan sebagai karunia dari Allah SWT.
Lalu mengajak para GUSDURian dan masyarakat pada umumnya untuk terus merawat semangat “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai warisan para pendiri bangsa. Sejak didirikan, Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat, dan lain sebagainya.
“Terakhir, menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan dan ujaran kebencian pada mereka yang berbeda. Sebagaimana kata Gus Dur, kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan,” pungkasnya.
(HY)