Nasional

Alasan Perempuan Luput dari Narasi Sejarah

Channel9.id-Jakarta. Sejarawan dan aktivis gerakan perempuan Ita Fatia Nadia menyayangkan bahwa narasi tentang sejarah perempuan Indonesia masih minim.

“Saya ketika belajar sejarah saya tidak pernah mendapat mata kuliah yang membahas tentang sejarah perempuan. Bahkan, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid, tentang perempuan dimasukkan hanya sedikit,” ujar Ita saat diskusi daring yang digelar Historia.id pada Selasa (22/12).

Padahal pada periode di abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah bermunculan banyak organisasi pergerakan perempuan.

Baca juga : Hari Ibu Bukan Cuma Sekadar Menyanjung Peran Domestik Perempuan di Rumah

Diketahui, pada periode tersebut bermunculan organisasi perempuan di beberapa daerah yang fokus bergerak di bidang sosial dan pendidikan, seperti Putri Mahardika, Keutamaan Istri, Kerajinan Amai, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Putri Budi Sedjati, PIKAT, Wanito Susilo, Aisyiyah, dan Fatimiah.

“Organisasi-organisasi itu juga menerbitkan surat kabar. Surat kabar ini menjadi bagian dari kampanye mereka tentang bagaimana kondisi perempuan pada saat itu. Semua surat kabar umumnya mengampanyekan tiga hal, yaitu tentang pendidikan perempuan, antipoligami, dan tentang keterampilan perempuan,” ujar Ita, saat diskusi daring yang digelar Historia.id pada Selasa (22/12).

“Namun, hal-hal ini tidak dituliskan dalam sejarah Indonesia,” pungkasnya. Ia menambahkan, mengenai Kongres Perempuan Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia, Kongres Wanita Indonesia, penghancuran organisasi gerakan perempuan pada 1965 di awal rezim Orde Baru, hingga hal lain apa pun tentang perempuan jarang dibahas.

Di kesempatan yang sama, aktivis gerakan perempuan Tunggal Pawestri menyebutkan, alasan perempuan luput atau dihilangkan dari narasi sejarah Indonesia ialah karena ada persoalan ideologis.

“Patriarki sudah begitu mendarah daging di semua level, maka dari itu penghilangan perempuan dari narasi sejarah menjadi persoalan,” pungkasnya.

Tunggal mengatakan bahwa pada tahun 1965, rezim Orde Baru menjadi pemenang dan kebijakan pemerintah kemudian memengaruhi penulisan sejarah, termasuk tentang perempuan.

Diketahui, selama rezim tersebut, kegiatan perempuan dialihkan total ke domestik di rumah saja.

“Penghancuran gerakan perempuan pada 1965 itu berdampak pada munculnya stigma dan sterotipe terhadap perempuan. Misalnya, perempuan yang beraktivitas di luar wilayah domestik dicap sebagai perempuan liar dan perempuan sundal,” paparnya.

Ia menuturkan bahwa sejak 1980-an sebetulnya sudah bermunculan banyak kelompok perempuan yang juga bermuatan politis, seperti Ibu Peduli yang ikut demonstrasi bukan hanya untuk menyuarakan isu perempuan, namun juga menyuarakan anti-Orde Baru dan antimiliterisme.

“Sialnya, meski ada beberapa gerakan perempuan juga sangat keras melawan Orde Baru, tapi gerakan mahasiswalah yang diingat dalam penggulinagan Orde baru. Ini perempuan jadi ga disebut,” pungkas Tunggal.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

89  +    =  97