Hot Topic

Refleksi Pendidikan, Ketua Komisi X DPR Beri Tujuh Catatan

Channel9.id – Jakarta. Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda memberikan sejumlah catatan refleksi pendidikan selama satu tahun terakhir 2020 di masa pandemi Covid-19.

Catatan pertama, Huda menilai, pendidikan Indonesia mengalami penurunan di aspek kualitatif dan kuantitatif selama pandemi Covid-19. Dari segi kualitatif, proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan guru tidak berjalan maksimal. Lantaran, guru sebelumnya belum dipersiapkan melaksanakan PJJ dalam menghadapi situasi pandemi.

“Karena tidak dipersiapkan dengan baik, kualitas pendidikan mengalami penurunan. Hal itu diafirmasi dari data World Bank yang hampir pasti bahwa pendidikan Indonesia mengalami penurunan kualitas yang cukup drastis, bahkan disinyalir mengalami learning loss,” kata Huda dalam Webinar ‘Refleksi Pendidikan Akhir Tahun di Masa Pandemi’ yang diadakan ISNU DKI Jakarta, Kamis 31 Desember 2020.

“Peringkat PISA kita tahun 2019 berada di posisi 76 dari 80 negara. Diafirmasi dari World Bank hampir pasti posisi PISA kita nanti paling buncit,” lanjutnya.

Meski mengalami penurunan kualitas, Huda menilai, para guru dan siswa mudah beradaptasi dengan situasi ini. Mereka akhirnya terbiasa memanfaatkan teknologi digital untuk proses pembelajaran di masa pandemi.

Kemudian, dalam konteks kuantitas, ini bisa diamati dari penurunan tingkat partisipasi kasar siswa yang menempuh pendidikan baik di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, maupun Perguruan Tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya karena kesulitan keuangan akibat dampak pandemi. Bahkan, kata Huda, ada orang tua yang sengaja tidak mendaftarkan anaknya untuk menempuh pendidikan di sekolah.

“Belum lagi, banyak sekolah juga yang tutup karena tingkat partisipasi siswanya tidak maksimal pada tahun 2020,” kata Politikus PKB ini.

Catatan kedua, banyak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang terpaksa gulung tikar akibat dampak ekonomi Covid-19. Huda menyampaikan, dari 4.500-an PTS, ada 700 PTS yang bangkrut.

“Karena itu, perguruan tinggi perlu mendapat bantuan langsung dari pemerintah melalui skema pembiaayaan keuangan. Tidak hanya di tingkat PT tapi juga perlu ada bantuan untuk tingkat menengah,” kata Huda.

Catatan ketiga terkait dengan peta jalan pendidikan yang disusun oleh Kemendikbud. Peta jalan pendidikan yang dimaksud yakni kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka.

Menurut Huda, peta jalan pendidikan itu masih berada di level rencana strategis, belum berada di level makro peta jalan pendidikan nasional. Karena hanya rencana strategis, peta jalan tersebut hanya bisa dijalankan untuk lima tahun ke depan.

“Kenapa levelnya hanya rencana strategis? Karena belum memenuhi berbagai filosofi pendidikan Indonesia, belum memenuhi konteks regulasi, dan belum memenuhi prasyarat yang dianggap sebagai peta jalan pendidikan,” ujar Huda.

Belum lagi, peta jalan pendidikan yang disusun Kemendikbud belum memiliki naskah akademik. Padahal, naskah akademik dibutuhkan sebagai pijakan menjalankan kebijakan pendidikan nasional.

“Dan belum sempurnanya menyangkut isu atau konten yang ada di dalam draf peta jalan pendidikan dari Kemendikbud. Seperti kecenderungan cukup kuat yang mewakili mazhab liberalisme pendidikan. Saya berdiri tidak pada mazhab liberalisasi ini, tapi mazhab moderasi pendidikan yang sesuai dengan jalan dan arahan para Kiai,” kata Huda.

Catatan keempat, Huda memberikan apresiasi terhadap beberapa kebijakan peta jalan pendidikan yang dibuat Kemendikbud. Seperti adanya relaksasi dana Bos untuk tiap sekolah. Dengan adanya relaksasi itu, sekolah dibebaskan untuk mengatur dana bos tersebut, termasuk memberikan upah untuk guru honorer.

“Namun, yang perlu dikritik adalah konten kebijakan terkait organisasi penggerak. PBNU melalui LP Maarif NU dengan tegas meminta supaya organisasi penggerak ditinjau ulang. Untungnya, Organisasi penggerak yang diadakan 2020 akhirnya dihentikan,” kata Huda.

Menurut Huda, kebijakan organisasi penggerak memang harus dihentikan karena cacat komitmen moral. Sebab, organisasi masyarakat yang fokus dalam pendidikan seperti LP Maarif NU, Muhammadiyah, dan PGRI tdak diprioritaskan oleh Kemendikbud. Padahal, sejumlah organisasi itu sudah jelas pengabdiannya kepada dunia pendidikan.

“Apalagi kalau tidak melibatkan mereka otomatis tidak ada partisipasi publik. Jika tidak ada partisipasi publik maka kebijakan itu tidak bisa dilanjutkan karena cacat moral,” kata Huda.

Catatan kelima, Huda bersyukur, guru honorer akan mendapatkan kepastian status pada 2021. Dalam hal ini, pemerintah sepakat bahwa guru honorer akan bisa ikut seleksi PPPK pada 2021. Huda menyampaikan, kebijakan itu bisa terlaksana karena adanya upaya Kemendikbud melakukan lobi dengan Kemenkeu.

“Catatan keenam terkait kebijakan-kebijakan dalam rangka membantu mempermudah pelaksanaan PJJ. Saya meminta pengkajian ulang terkait pembukaan sekolah pada Januari 2021 mengingat meningkatnya kasus Covid-19. Karena itu, perbaikan PJJ menjadi penting untuk enam bulan ke depan,” ujarnya.

Huda pun menyampaikan, pihaknya berencana melakukan revisi UU Sisdiknas 2003 pada 2021. Revisi tersebut dilakukan dengan tujuan membuat sebuah visi dan pijakan pendidikan berskala nasional.

“Rencananya pada 2021, kami akan melakukan revisi UU Sisdiknas Tahun 2003. Kami akan membuat pendidikan sebagi visi negara bukan visi pemerintah. Jadi, meski menteri pendidikan tiap lima tahun ganti, tapi visi pendidikan tidak akan berubah,” pungkasnya.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  59  =  67