Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan terhadap Merdeka Belajar Episode 8: SMK Pusat Keunggulan yang baru diluncurkan Mas Menteri Nadiem Makarim, Rabu 17 Maret 2021.
P2G menilai, seunggul apapun jargon atau nama program revitalisasi SMK, sepanjang persoalan fundamental SMK tak dibenahi secara mendasar dan komprehensif, maka SMK masih akan bermasalah.
Ketua P2G Kabupaten Penajam Passer Utara, Surifuddin, menjelaskan, pertama, model SMK Pusat Unggulan melalui skema afirmasi kepada 300 SMK (2019) dan 491 SMK (2020) sebenarnya tidak menyelesaikan masalah pokok SMK. Apalagi model ini sebenarnya mirip dengan model sekolah penggerak dan guru penggerak Kemendikbud.
“Bagi kami afirmasi SMK semestinya diberikan kepada sekolah SMK yang terpinggirkan, yang akreditasi jurusannya rendah, yang serapan lulusannya rendah, yang bengkel dan ruang praktiknya minim, yang kompetensi gurunya belum baik. SMK seperti ini yang harus diafirmasi pemerintah,” kata Surifuddin berdasarkan keterangan tertulis, Rabu 17 Maret 2021.
Dia menambahkan, implementasi dari Inpres Revitalisasi SMK No. 9 Tahun 2016 harus dievaluasi secara komprehensif dan mendasar oleh Kemendikbud dan lembaga terkait selama 4 tahun ini. Model dan skema pengimbasan SMK sebenarnya sudah ada sejak 2017 dalam bingkai revitalisasi SMK. Metode pengimbasan seperti itu terbukti gagal.
Diantara indikatornya kegagalannya adalah dilihat dari Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) jenjang SMK masih yang paling tinggi diantara tingkat pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,49 persen (BPS, 2020). Hal serupa juga terjadi pada tahun sebelumnya. Artinya lulusan SMK menjadi penyumbang angka pengangguran terbesar di Indonesia.
“P2G melihat model SMK: Pusat Keunggulan, secara substansial bukan hal baru, dan tidak juga memberikan solusi atas persoalan fundamental SMK selama ini,” ujarnya.
Kedua, Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menyampaikan, persoalan pokok SMK itu adalah kekurangan guru mata pelajaran produktif selama ini, sehingga yang mengajar mata pelajaran “core program” SMK banyak diisi oleh guru mata pelajaran normatif (seperti PPKn, Agama, Bahasa) dan mata pelajaran adaptif (Bahasa Inggris).
“Mestinya kekurangan guru mata pelajaran produktif ini yang dipenuhi dulu. Mengingat “core program” SMK sesungguhnya terletak pada mata pelajaran produktif,” ungkap Satriwan Salim.
Ketiga, Satriwan melanjutkan, persoalan berikutnya adalah SMK sangat kekurangan bengkel dan ruang praktik, sehingga praktik pembelajaran SMK diberikan secara naratif, itu yang kita sebut selama ini dengan anekdot “SMK Sastra” atau “SMK Bahasa”.
“Mestinya ruang praktik dan bengkel dicukupi, dilengkapi, dan dimodernisasi sehingga betul-betul mampu memfasilitasi siswa-guru dalam meningkatkan keterampilan siswa (terampil) agar nantinya bisa diterima dunia kerja,” ujarnya.
Keempat, Satriwan menilai, mesti ada pemetaan ulang dan pemetaan penyebaran SMK negeri dan swasta di Indonesia: di daerah bagaimana; komposisi SMK di urban dan rural area; potensi lokal; ketersediaan lapangan kerja/industri/DUDI di wilayah tersebut; dan jurusan di SMK.
“Sebab, kami melihat ada semacam over supply lulusan SMK jurusan tertentu: Teknologi Informasi, Komputer, Akuntansi, dan Administrasi Perkantoran,” lanjut Satriwan
Satriwan menambahkan, bahkan keberadaan jumlah SMK Swasta yang lebih banyak ketimbang SMK Negeri juga menjadi faktor tidak terserapnya lulusan SMK di dunia industri. Pengetatan perizinan pendirian SMK swasta perlu dipertahankan seperti selama ini sudah dilakukan. SMK didominasi swasta sebesar 74,56% dari total 14.064 sekolah SMK. Artinya keberadaan SMK swasta hampir 11 ribu sekolah (Data BPS, 2019)
Kelima, menurut Dewan Pakar P2G Anggi Afriansyah, persoalan SMK berikutnya adalah kurikulum SMK banyak yang tidak relevan dengan dunia industri, konsep link and match selama ini bahkan sudah ada sejak Mendikbud Wardiman Djojonegoro mesti diredefinisi dan rekonseptualisasi oleh Kemendikbud.
P2G sangat mendukung Kemendikbud serius dalam mengatur SMK, apalagi dengan membentuk struktur baru di Kemendikbud yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi yang belum ada di era sebelumnya. Sebelumnya Direktorat SMK hanya berada di bawah salah satu direktoral jenderal.
“Ini menunjukkan keseriusan pemerintah memperbaiki SMK, agar pengelolaan SMK lebih maksimal tentu juga dengan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi, sebab secara teknis administratif SMK dikelola oleh provinsi,” ungkap Anggi.
Keenam, bagi P2G pelibatan industri sangat penting dalam mendisain kurikulum SMK, plus pemberian insentif kepada dunia industri, agar SMK dapat diterima DUDI.
Peneliti Pendidikan LIPI ini juga menegaskan, P2G mendorong diperkuatnya kerjasama 6 Kementerian, ini perlu dimaksimalkan kembali: Kemendikbud, Kemenperin, Kemendagri, Kemen BUMN, Kemenaker, Kemen UMKM.
Plus ditambah kerjasama dengan: Dunia Industri Dunia Usaha (DUDI) dan Lembaga Riset. Kedelapan lembaga ini perlu bersinergi, harmonisasi, untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan SMK dan menyiapkan lulusan SMK yang unggul, terampil, dan diterima dunia kerja.
Di sisi lain, agenda SMK yang dibangun berbasis potensi daerah perlu mendapatkan perhatian. Pemerintah daerah perlu memperhatikan potensi lokal (SDA dan Ekonomi) dan menselaraskannya dengan arah pendidikan di SMK. Lulusan SMK dapat diarahkan untuk mengisi potensi daerah, nasional dan global. Selain masuk ke dunia industri juga dapat membangun industri dan kewirausahaan di daerah.
“Oleh karena itu, sepanjang persoalan fundamental SMK tak dibenahi, maka akan masalah terus, apapun nama merek atau jargon program yang akan dipakai, terbukti SMK masih berkontribusi terhadap tingkat pengangguran terbuka yang tertinggi di Indonesia,” pungkasnya.
HY