Channel9.id – Jakarta. Putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat pada Sabtu, 3 Juli 2021 hari ini. Dia meninggal usai dirawat karena positif Covid-19. “Covid,” kata Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Sabtu.
Dikutip dari situs Kepustakaan Presiden, Perpustakaan Nasional, Rachmawati bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno.
Rachmawati adalah putri Proklamator Sukarno yang menikah dengan Fatmawati. Rachmawati lahir di Jakarta pada 27 September 1950 dan meninggal dunia pada usianya yang ke-71.
Sepeperti diketahui, Presiden Pertama RI, Soekarno mempunyai beberapa orang anak diantaranya, Guntur Soekarnoputa, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Totok Suryawan Soekarnoputra, Taupan Soekarnoputra (alm), dam Bayu Soekarnoputra.
Diantara putra dan putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri dan Rachmawati Soekarnoputri merupakan saudara kandung yang selalu bersaing dalam pentas politik nasional.
Megawati dan Rachmawati, keduanya sudah berjalan dibawah payung partai politik yang berbeda. Sejak tahun 1980an Mega memulai karir politiknya bersama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tak lain merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sementara Rachmawati baru memilih aktif di politik praktis dengan mendirikan Partai Pelopor tahun 2002an. Sayangnya Partai yang didirikan anak ketiga Bung Karno dari pernikahan dengan Fatmawati itu tak semulus Mega dengan partai berlambang kepala banteng moncong putihnya.
Baca juga: Rachmawati Sukarnoputri Meninggal Dunia
Megawati senditi tidak mudah bergerak di panggung politi. Sejak aktif di PDI kemudian menjadi PDIP juga tidak mudah berkarir di partau politik. Tangan-tangan orde baru selalu berupaya untuk menyingkirkan Mega.
Keberhasilsn Megawati di panggung politik terjadi setelah ada peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta yang ditengarai dilakukan oleh orang-orang Orba yang ingin menjegal Megawati dari kepemimpinan PDI. Pasca itu PDI pimpinan Mega mengganti nama partai menjadi PDI Perjuangan.
Setelah itu jalan mulus bagi Mega meminpin partai politik terbuka lebar. Bahkan pasca Soeharto lengser 1998, nama Mega terus meroket dalam panggung politik nasional hingga menjadi Presiden di tahun 2001 menggantikan Gusdur.
Keberhasilan Mega itu ditenggarai publik sebagai salah satu penyebab keluarnya kritik pedas Rachma terhadap kakaknya itu.
Sebut saja Rachma pernah mengkritik Mega dinilai terlibat mengubah UUD 1945 dan menilai telah memasukan Pancasila sebagai dasar negara ke dalam empat pilar. Hingga ia mengajukan gugatan ke MK terkait sosialisasi program empat pilar kebangsaan karena dinilai berpotensi terjadi pelanggaran hukum menyangkut penggunaan APBN hingga memiliki potensi konflik. Namun, MK menolak gugatannya.
Sejak awal terjadi amandemen UUD, Rachnawati salah seorang tokoh yang getol mengkritik keras Amandemen UUD 1945. Bahkan dalam berbagai kesempatan ia menyuarakan agar bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli. Dalan setiap momen itulah, ia kerap mengkritik Megawati.
Tak hanya itu, di musim pemilihan presiden (pilpres) 2014. Mega kembali menuai kritik pedas Rachma terkait dukungannya terhadap Joko Widodo (Jokowi). Padahal. Saat itu Rachmawati sudah bergabung dengan Partai NasDem pimpinan Surya Paloh. Sebelumnya Bersama NasDem Rachma memberikan dukungan bersama PDIP kepada Jokowi. Tetapi ditengah jalan atau pasca-penetapan rekapitulasi suara nasional oleh KPU, Rachma mendadak membelokkan dukungannya kepada lawan Jokowi, Prabowo Subianto dan harus keluar dari NasDem. Rachmawati kemudian bergsbung dengan Partai Gerindra. Rachma menduduki jabatan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra 2020-2025.
Waktu itu Rachma menilai Prabowo memiliki visi misi yang jelas ketimbang Jokowi. Bahkan ia menyebut dukungan terhadap Jokowi merupakan kesalahan terlebih Jokowi disebut terkait dengan kasus dugaan korupsi dan jika Jokowi menjadi Presiden, ia juga tidak yakin akan ada penegakkan hukum atas skandal BLBI yang ikut menyeret nama Megawati.
Melihat perseteruan kedua putri Bung Karno itu, apakah sebenarnya yang melatarbelakangi persaingan Rachmawati dengan kakaknya Megawati? Peneliti Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menduga ada peran intelijen yang ingin mengadu domba anak-anak Soekarno.
“Saya khawatir ada faktor intelijen yang melakukan infiltrasi di dalam keluarga Bung Karno. Gerakan untuk membusukkan dari dalam oleh lawan politik dan ideologi Bung Karno yang berperan menjadi pembisik membenturkan keluarga Bung Karno (Rachmawati dengan Megawati),” kata Karyono Wibowo, 21 November 2014.
Menurutnya kemungkinan faktor infiltrasi intelijen sangat dimungkinkan. Sebelumnya cara-cara menghancurkan ajaran Soekarno pun pernah dilakukan dengan bantuan intelijen.
Menilik hal itu, Karyono menilai ada perbedaan karakter yang mencolok dari Rachmawati dan Megawati. Karakter ini pun ditengarai menjadi salah satu faktor ketidakharmonisan hubungan anak Soekarno ini.
“Ini kan menyangkut karakter dalam satu keluarga yang punya karakter berbeda. Megawati cenderung diam dan memegang prinsip kuat kalau Rachmawati karakternya meledak-ledak, soal prinsip juga kuat,” terang dia.
Karyono juga menyebut faktor rasa iri dalam karier politik sebagai sesama anak proklamator menjadi salah satu penyebabnya.
“Dari aspek psikologi ada kecemburuan, kenapa Megawati yang lebih populer dan terkenal padahal sama-sama anak Soekarno. Sebenarnya tidak ada perbedaan pandangan secara prinsipil yang bisa dijadikan alasan Rachmawati selalu menyerang Megawati,” kata Karyono waktu itu.
“Dalam dunia politik bisa jadi. Antitesa terhadap ajaran Bung Karno masih terus berjalan, seperti dulu isu harta karun Soekarno, perempuan-perempuan Soekarno, dan keterlibatan dengan PKI,” terang dia.
Sementara Denny JA dalam bukunya ‘Partai Politik pun Berguguran’ terbitan LKiS (2006) mengungkapkan, jurang perbedaan politik yang dianut kedua saudara ini. Mereka masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda guna mencapai kesejahteraan rakyat.
Rachmawati dipengaruhi oleh paham populisme yang berkembang di dunia pada tahun 1930-an. Negara harus memiliki keberpihakan dan tidak boleh bersikap netral terhadap kompetisi pasar menurut paham ini.
Program kesejahteraannya dengan memperkenalkan subsidi kepada rakyat.
Sebaliknya, Megawati menganut paham new-populism. Menurut pandangan paham ini, subsidi harus dikurangi secara perlahan. Secara gradual, ekonomi harus bersandar pada kompetisi bebas. Peran negara nantinya hanya sebagai wasit.
Tak hanya Rachmawati dan Megawati yang saling bersaing, Direktur Political Communication (Polcomm) Institute, Heri Budianto mengatakan, perbedaan pandangan politik dalam keluarga Bung Karno bukan hanya terjadi pada Mega dan Rachma. Bahkan, Guruh Soekarnoputra juga sempat bertolak belakang atas dukungan PDIP terhadap Jokowi kendati akhirnya ia harus mengikuti keputusan partai.
Begitu juga dengan Sukmawati Soekarnoputri yang kecewa karena, saat menjadi presiden pada 2002-2004, Megawati kurang peduli terhadap perempuan. Tak banyak acara Presiden yang melibatkan kaum perempuan pada saat itu.
Sukmawati juga menilai Megawati kurang tegas dalam bersikap dan kurang demokratis. Misalnya ketika Soeharto dilengserkan pada 1998, Megawati terkesan kurang suka terhadap sikap anak-anak muda yang mendorong perubahan rezim itu.
“Jadi secara politik kan tidak bersatu bisa jadi hubungan keduanya secara personal bersatu tapi tidak begitu mengemuka di publik. Tapi apakah keduanya memiliki semacam persaingan politik bisa saja muncul. Jadi secara biologis bersaudara tapi secara politik berbeda, dan kalau publik menilai persaingan politik tidak bisa disalahkan,” pungkasnya, 7 Agustus 2014 silam.
IG