Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. “Saya jomblo, Bro,” ujar Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Rasyid Baswedan, ketika saya temui beberapa waktu lalu di Balaikota. Saya datang untuk menyampaikan bahwa “cuti pilpres” saya sudah berakhir.
Saya sudah baca pernyataan Anies itu dari berita di media massa. Tapi toh ucapan itu juga keluar, ketika saya tanyakan beban pekerjaan yang menumpuk. Bukan “beban” atau bukan juga “pekerjaan” dalam arti umum, sebetulnya. Tapi agenda yang datang dari orang atau pihak lain. Pertemuan. Undangan. Diskusi.
Setahun sudah Jakarta tanpa Wakil Gubernur (Wagub). Dari sisi protokoler, saya rasa tidak ada yang benar-benar merepotkan. Gubernur DKI Jakarta toh memiliki empat orang Deputi Gubernur. Dua orang baru saja dilantik awal bulan ini.
Berbeda dengan provinsi lain, Walikota dan Bupati di Jakarta justru adalah bawahan langsung Gubernur. Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD. Walikota/Bupati di Jakarta adalah cabang eksekutif yang tak didampingi legislatif setingkat DPRD Kota/Kabupaten. DPRD hanya ada di tingkat provinsi.
Persoalannya, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sudah meletakkan legacy yang “berat”. Agenda BTP bertemu dengan warga, begitu banyak. Bukan hanya menyambut warga di kantor Balaikota yang terbuka, BTP tak segan-segan datang ke acara kondangan yang dihelat warga. Bahkan, saking bersemangatnya, BTP pernah datangi resepsi di luar Jakarta.
Nah, sisi salam-salaman, plus dialog sebentar, berikut solusi dengan sentuhan personal, juga tentu berfoto ria dengan banyak orang inilah yang kesulitan dipenuhi oleh Gubernur Anies. BTP lebih unggul dan belum tersaingi. Untunglah, agenda pemilu serentak lumayan memberi nafas kepada Anies. Demi netralitas – walau banyak yang menyebut Anies berpihak – ia perlu jauh-jauh dari kerumunan tokoh-tokoh dan massa politik.
Soal keberpihakan, saya sempat “sedikit ribut” di media sosial. Anies dituduh berpihak dengan simbol angka dua. Padahal, jauh-jauh hari saya tahu, Anies hanya sedang menggunakan simbol the JakMania. Simbol yang memang mirip dengan pasangan nomor urut dua dalam Pilpres lalu.
“Waktunya sudah lewat. Mestinya jauh-jauh hari ada gugatan hukum, jika memang perlu, dari manajemen the Jak Mania terhadap Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi,” begitu kira-kira yang saya sampaikan.
Anies terlihat lebih sehat dan berbobot, ketimbang menjelang pelantikan. Saat itu, Anies sedang diet makanan tertentu. Bobot badannya berkurang drastis. Lemak di dalam perutnya berkurang. Tubuh Anies terlihat lebih atletis, ketimbang saat kampanye Pilgub 2017.
Tak heran, posisi Anies yang jomblo tak banyak berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan. Anies memang tidak seatraktif pimpinan daerah favorit lain, seperti Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Zulkieflimansyah (Gubernur Nusa Tenggara Barat), atau Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor). Kepala daerah lain perlu sedikit “caper” atau malah hingga “jungkir-balik”, agar mendapatkan pemberitaan pers atau menjadi viral di media sosial.
Anies? Malah sebisa mungkin menghindari pers sebanyak-banyaknya, biar tak menghadapi serbuan “Warga Negara Jempol”, “Warga Negara Cuap-Cuap” ataupun “Warga Negara Kreator Meme”. Apapun yang dilakukan Anies, atau yang tak dilakukan Anies, sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Jumlah yang benci dan rindu dengan Anies relatif seimbang. Itupun diwakili oleh nama-nama raksasa yang dikenali di ranah media sosial.
Kenyamanan suasana kejombloan itulah yang menyebabkan isu pengganti Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Wagub DKI Jakarta menjadi terpinggirkan. Malahan, makin tidak relevan. Sekarang, makin masuk ke lingkaran elite. Bahkan, hanya masalah dua orang, yakni Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Prabowo Subianto. Lingkaran ring satu kedua tokoh itu, makin hari malah ikut bingung alias tak lagi seyakin masa kampanye pilpres.
Sandiaga Uno adalah pasangan lahir-batin Anies Baswedan. Pasangan, dalam posisi psikologis “kawin paksa” dalam semalam menjelang pendaftaran Cagub-Cawagub. Pasangan, dalam konteks sebelum Pilpres digelar. Pasangan yang saling belajar kilat ketika kampanye berjalan.
Per hari ini, pengertian “pasangan serasi” sudah tak bisa lagi digunakan. Sandi sudah lahir sebagai sosok yang kian dipahami publik. Karakter Sandi perlahan-lahan menjelma sebagai kekuatan diri, ketimbang pergunjingan publik dengan informasi terbatas. Sesuatu yang baru sekadar potensi diri ketika menjadi Wagub DKI Jakarta, kini sudah menjadi butir pemikiran, nilai, langkah, kebijakan, hingga postulat dari seseorang yang bernama Sandi.
Bisa saja turbulensi politik memasangkan lagi Anies – Sandi. Itu dengan catatan tak ada sosok yang bisa dijadikan Wagub Pilihan. Jika itu kejadiannya, jika memang Anies-Sandi bersatu kembali, publik tak lagi melihat sepasang Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, melainkan – saya langsung lompat — Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024-2029. Publik tak lagi melihat siapa yang pas menjadi nomor satu atau nomor dua. Bisa saja Sandi – Anies atau Anies – Sandi.
Hanya dalam waktu dua tahun, Anies dan Sandi sudah selesai menjadi individu-individu yang berada pada puncak piramida lapisan pemimpin level nasional. Anies dan Sandi sudah tak lagi terbatas sebagai tokoh lokal atau sosok daerah. Tak ada yang bakal mencibir, ketika keduanya disebut sebagai tokoh nasional. Dan itupun dengan kriteria tambahn: bukan tokoh nasional yang sedang memudar atau hendak memupus.
Dalam lingkaran sinaran matahari harian, Anies dan Sandi adalah dua tokoh nasional yang berada pada pukul 10.30 atau kurang. Keduanya belum berada di puncak ubun-ubun kepemimpinan harian. Apalagi sedang beranjak menuju sore, senja dan malam. Dengan biaya mahal demokrasi Indonesia, amat sulit dan jarang sekali sosok-sosok nasional lain berada pada posisi keduanya secepat ini. Pun dibandingkan dengan jam terbang politik yang jauh lebih sedikit.
Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dua orang sahabat saya yang jauh lebih lama dibanding bersahabat dengan Anies (sejak tahun 1993), sudah punya jam terbang jauh. Tapi siapa yang berani bertaruh dengan saya: ketokohan Fadli dan Fahri berada satu level lebih rendah di banding Anies – Sandi. Energi kinetik dan energi potensial Anies dan Sandipun masih jauh lebih besar dibandingkan dengan Fadli dan Fahri yang mulai kesulitan membangun narasi otentik.
Singkat cerita, Anies tidak bakal kehilangan pesona sebagai pemimpin hari ini, esok dan nanti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, dua nama yang pernah mengalami posisi bintang kejora seperti Anies — pun Sandi — adalah Anas Urbaninggrum dan BTP. Kedua nama itu kita tahu, mengalami situasi “jatuah tapai” dalam bahasa prokem anak Minang. BTP sudah menapak lembaran baru, walau dalam sejumlah pernyataan sedang tak hendak berbaris dalam jejeran pemimpin-pemimpin formal. Anas, tentu saya mendoakan, semoga berhasil menulis kitab putih politik dalam goa heningnya.
Dalam situasi seperti ini, sosok seperti apa yang cocok menjadi Wagub DKI Jakarta sebagai tandem Anies? Sosok yang tahu bukan matahari, tapi cukup sebagai rembulan. Sosok yang membantu dengan berjalan di belakang, bukan yang hendak sejajar dalam posisi sadar kamera. Sosok yang yang cerdas secara intelektual, sekaligus santun secara emosional. Bisa jadi sosok yang tidak lebih gagah dari sisi fisik, walau bukan berarti tak layak lenggang-lenggok di atas panggung politik Jakarta yang disorot ratusan lampu.
Saya menyebut sosok tersebut sebagai 11/12 dengan Sandi. Yang mengerti, memahami dan mengenali Jakarta sebaik ia tahu lika-liku rumah dan halamannya. Sosok yang tak kalah paham macam-macam sendi kehidupan nasional, regional dan internasional. Sosok yang mampu cas cis cus dengan Anies dalam debat-debat yang keras, namun di dalam ruangan tertutup. Rasional, cerdik, atau bisa jadi tak mudah putus asa dalam menggunakan akal pikiran. Si Kancil dalam jejeran buaya-buaya menganga yang hendak menerkam kehidupan rakyat kecil di Jakarta.
Di luar itu, tentu sosok Wagub ini adalah orang yang tak mudah memakai jas orang lain dalam arena fashion show, walau hanya pinjaman dan kedodoran. Orang yang mampu menjahit sendiri pakaiannya, humoris dalam tekanan pekerjaan dan hujatan, serta memiliki pergaulan luas walau tak tampak dan hendak ditunjukkan.
Jangan sampai stamina Anies justru habis dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan pada level managerial. Anies punya hak untuk menunjukkan diri lebih dari sekadar saudagar intelektual yang sedang bersaing dengan kota-kota lain yang nyaman bagi aktivitas ekonomi. Si Jomblo ini masih terlihat dan terbaca berbalas-pantun dengan kritikus-kritikusnya yang berjumlah ribuan. Kurang begitu sedap membaca Anies menjawab soal bambu dengan baja dari Tiongkok, sementara baja tetap menjadi masalah besar yang membutuhkan solusi visioner pemimpin berskala nasional.
Anies dalam tahapan mencari seorang Neo Hatta, andai ia adalah Sukarno. Atau Anies sedang mencari seorang Habibie, andai ia adalah Soeharto. Atau, dalam prinsip Sarekat Dagang Islam yang bersekutu menyekolahkan anak-anak muda Islam pada awal abad lampau, Anies memerlukan seorang saudagar yang terdidik sebagai Muslim Perkotaan agar ia fokus dengan pelaksanaan kurikulum pemerintahannya hingga tuntas. Seseorang yang tentu tak boleh lepas dari bayang-bayang Masyumi sebagai nilai-nilai politik dan pemerintahan yang banyak dinukil oleh Mohammad Natsir dalam seri Kapita Selekta-nya yang genuine itu. Bagaimanapun, Partai Keadilan Sejahtera tak bakal membiarkan sosok pendamping Anies berada di luar nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Seseorang yang moderat, tentu juga bukan seseorang yang melarat. Seseorang yang bisa jadi masih baru dalam hitam-putih politik. Seseorang yang sudah tahu legamnya politik, sehingga tak perlu juga terjerambab dalam nukilan Sang Pangeran Niccolo Machiavelli. Seseorang yang dekat dengan kehidupan politik, namun mampu mengambil jarak yang tepat ketika menjadi bagian dari komunitas epistemiknya.
Tentu, tak perlu seideal itu. Namun perlu diberi garis bawah dengan huruf tebal: seseorang yang tak bakal menjadi beban bagi kehidupan politik Anies, terlebih lagi Prabowo Subianto dan Salim Segaf al-Jufri. Seseorang yang bukan anak macan, tapi anak kucing yang tahu menjaga area rumah untuk tetap bersih. Seseorang yang menyenangkan ketika banyak tamu datang.
Sosok yang tetap tak mengubah Anies sebagai Jomblo Ibukota, ketika sangkakala sudah ditiup betapa satu posisi istimewa Jakarta sedang dihitung mundur menuju akhir…
Siapakah dia?
Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara*