Nasional

Akhlis Suryapati: Film Ice Cold Itu Dokumenter, yang Tetap Memberi Ruang Imajinasi

Channel9.id-Jakarta. Film dokumenter ‘Ice Cold; Murder, Coffee, and Jessica Wongso’ yang tayang di Netflix itu membuat kasus kopi sianida kembali menjadi pembicaraan hangat di masyarakat.

Banyak pakar film yang mengemukakan pendapat, di antaranya, Akhlis Suryapati, seorang penulis, sutradara, produser dan penyanyi. Ia memulai karinya dalam dunia perfilman dengan menjadi penulis naskah teater. Tak lama kemudian profesinya berubah menjadi produser dan aktor. Film pertamanya yang disutradarainya adalah “Lari Dari Blora” (2007) yang dibintangi WS Rendra.

Akhlis kini menjadi Kepala Sinematek Indonesia. Sebuah pusat arsip dan data perfilman Indonesia.

“Film kita tahu, adalah juga media informasi komunikasi pandang-dengar. Itulah yang membuat Ice Cold sekarang jadi perbincangan. Tentu saja karena dalam film itu ada informasi kontroversial, aktual, apalagi jika semacam ada novum atau bukti baru untuk kasus hukum,” kata Kepala Sinematek Indonesia Akhlis Suryapati saat dihubungi di Jakarta, Senin (9/10/2023).

Lebih lanjut, Akhlis menerangkan, bahwa dalam kasus Ice Cold, kontroversi dan novum itu tersimpulkan dalam penggambaran mengenai kasus Jessica yang tidak sama dengan fakta dan kesimpulan di persidangan di mana Jessica divonis 20 tahun, sementara Jesica menyatakan tidak melakukan pembunuhan.

“Dalam kasus ini, saya hanya ingin menegaskan bahwa film tetaplah punya fungsi sebagai media informasi dan komunikasi, bukan sekadar hiburan, dan melalui film kita bisa menyampaikan pesan atau kita mendapatkan pesan. Apalagi ini film dokumenter. Sedangkan film cerita fiksi saja, bisa menjadi referensi pengetahuan. Karena film adalah kemiripan dari kenyataan. Soal pesan itu ngibul atau otentik, nah itu soal kejujuran dan reputasi pembuatnya,“terangnya.

Menurut Akhlis, kalau netizen menyimpulkan Jessica tak bersalah karena menonton film itu, lha itu kan reaksi romantik yang bersandar pada rasa.

“Rasa yang diperoleh tatkala menonton film itu. Para pengacara juga bisa lebih meyakinkan netizen bahwa Jessica tidak bersalah. Sebaliknya para jaksa bisa meyakinkan publik bahwa Jessica bersalah. Kalau sutradara film Ice Cold ini sih mungkin capaiannya adalah berhasil membuat kontroversi dari idenya mengenai kasus Jessica,” bebernya.

Akhlis menyampaikan, bahwa imajinasi itu pengembangan referensi dari kenyataan yang subyektif. Berpihak pada angan-angan.  Penting dimiliki, untuk mendobrak kebuntuan realitas. Namun belum tentu menjadi sebuah kebenaran. Karena ya imajinasi. Imajinasi kan baru semacam ide.

“Film memberi ruang mengembangkan imajinasi. Semakin imajinasi cocok dengan kebutuhan imajinasi banyak orang, maka film tersebut mendapat sambutan – atau luas pasarnya.  Walau Ice Cold bergenre dokumenter, yang tetap saja dibuatnya dengan imajinasi,“paparnya.

Sebagaimana netizen yang beranggapan Jessica tidak bersalah – gara-gara nonton film Ice Cold itu, maka akan ada netizen yang tidak meyakini bahwa film tersebut adalah gambaran dari fakta sesungguhnya.

Baca juga: Sistem Due Process Model Menentukan Ketersalahan Jessica dalam Perkara Kopi Sianida

“Karena memang sutradara itu bukan pembuat disertasi, tesis, atau skripsi, yang skenarionya diuji dulu. Apalagi seorang hakim. Bukan. Pembuat film ya orang yang berimajinasi, menuangkan imajinasinya dalam media yang dinamakan berkaidah sinematografi,“ujarnya.

Kontributor: Akhmad Sekhu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

62  +    =  69