Channel9.id, Jakarta – Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata, menilai Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Kelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak menjawab persoalan mendasar dalam pelaksanaan program tersebut. Ia menyebut Perpres ini justru berpotensi “memutihkan” pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama proyek berjalan.
Menurut Marthin, pemerintah seharusnya mendasarkan seluruh kebijakan pangan pada pendekatan hak asasi manusia atas pangan dan gizi, sebagaimana mandat Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan EKOSOB) yang telah diratifikasi Indonesia.
“Komite Hak Ekosob PBB menegaskan bahwa program pangan harus dilakukan dengan prinsip hak asasi manusia—melibatkan konsultasi bermakna dengan masyarakat sipil, petani, perempuan, dan masyarakat adat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/10/2025).
FIAN menilai Perpres MBG diterbitkan tanpa keterbukaan publik dan tidak memiliki landasan yang jelas mengenai tujuan, sasaran penerima manfaat, serta mekanisme pengawasan.
Marthin menyebut, sejak awal proyek MBG sudah bermasalah — mulai dari penetapan target yang tidak berbasis data hingga kasus keracunan makanan di sejumlah daerah.
“Perpres ini tidak akan menyelesaikan kekacauan, justru menjadi alat legitimasi untuk menutupi persoalan lama. Tidak ada konsep yang terbuka, pengawasan lemah, dan keamanan pangan diabaikan,” tambahnya.
Lebih jauh, FIAN Indonesia menyoroti potensi konflik kepentingan dalam pelaksanaan proyek MBG.
Tanpa transparansi dalam penunjukan kelompok pelaksana dan pengelolaan anggaran, Marthin menilai Perpres ini berisiko menjadi “legitimasi bagi-bagi jatah anggaran negara”.
FIAN juga menyoroti keterlibatan aparat keamanan seperti TNI dan Polri dalam pelaksanaan proyek, yang dinilai tidak sesuai dengan mandat sektor pangan.
“Daripada diawasi aparat, proyek ini seharusnya diaudit dan dievaluasi secara independen. Jika ada pelanggaran, harus ditindak tegas, bukan disamarkan lewat regulasi,” tegasnya.
FIAN Indonesia merekomendasikan agar pemberian akses pangan bergizi dilakukan secara desentralisasi, bukan terpusat di tangan pemerintah pusat.
Marthin menilai pelibatan masyarakat lokal menjadi kunci untuk memastikan program berjalan efektif dan berkelanjutan.
“Pemberian makanan bergizi bisa dilakukan dengan melibatkan warga, keluarga sekolah, Posyandu, Puskesmas, dan kelompok PKK. Ini akan memperkuat ketahanan pangan lokal dan mencegah praktik penyimpangan,” ujarnya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu agenda prioritas pemerintahan baru yang bertujuan meningkatkan kualitas gizi anak sekolah dan menekan angka stunting. Namun, sejak tahap awal pelaksanaan, program ini menuai sorotan karena kurangnya transparansi, pelibatan publik, serta munculnya kasus keracunan makanan di beberapa wilayah.
FIAN Indonesia menegaskan bahwa tanpa pendekatan berbasis hak asasi manusia dan partisipasi masyarakat, Perpres MBG justru berpotensi melanggengkan ketimpangan dan praktik koruptif dalam sektor pangan.