Nasional

Megawati Institute: Benahi Konsep Garis Kemiskinan

Channel9.id-Jakarta. Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta menilai kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia.

“Apakah benar masyarakat yang dulu masuk dalam garis kemiskinan sudah benar-benar lepas dari kemiskinan dan hidup layak,” kata Arif.

Menurut Arif, pertanyaan itu muncul karena metode penghitungan garis kemiskinan yang ada saat ini belum memasukkan indikator penghidupan yang layak seperti yang dimuat dalam UUD 1945.

Badan Pusat Statistik (BPS) masih menggunakan basic neds approach untuk menghitung penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan. Kemiskinan sejauh ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan).

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu juga mengatakan, dalam konstitusi kehidupan yang layak diatur dalam empat pasal yakni pasarl 27 ayat 2, pasal 28 A, pasal 28 C ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

“Jika dirangkum pasal-pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dasarnya, pendidikan penghidupan yang layak serta berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya,” ujar Arif.

Ia menyebutkan, para pendiri bangsa pernah mengkritik statistik kemiskinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta, lanjutnya,menyebutkan statistik dan garis kemiskinan tersebut, tidak sesuai untuk digunakan karena tidak menggambarkan kehidupan yang layak bagi rakyat.

“Sudah saatnya, setelah 74 tahun Indonesia merdeka, perlu ada perubahan konsep perhitungan tingkat kemiskinan. Dari konsep basic needs menjadi basic rights,” kata Arif.

Menurutnya, dengan begitu Indonesia akan mampu menuju pengusahaan agar rakyatnya tidak hanya sekadar mampu bertahan hidup, tapi menjadi rakyat yang dapat hidup makmur.

“Dengan memastikan basic rights, maka didapat enam indikator yang digunakan untuk menghitung kemiskinan tersebut, yakni kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pangan, air minum, dan perumahan,” jelas Arif.

Ia menambahkan, jika mengacu pada indikator tersebut, maka 51,8 persen penduduk Indonesia masih masuk dalam kategori hidup tidak layak dengan rata-rata permasalahan yang dihadapi dari keenam indikator sebanyak 1,4 masalah per orang.

Sementara itu, jika diurutkan berdasarkan persentil pengeluaran, maka pengeluaran kelompok penduduk yang terkategori hidup tidak layak kurang dari Rp 842,046 per kapita per bulan, dua kali lipat dari garis kemiskinan per Maret 2018 yang sebesar Rp401,220 per kapita per bulan.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah harus mengembangkan mirroring data garis kemiskinan yang didasarkan kepada garis kemiskinan, BPS dan Garis Hidup Layak serta penyesuaian terhadap garis kemiskinan menurut Bank Dunia.

Selanjutnya, penyediaan rumah dan pangan yang layak harus menjadi perhatian utama pemerintah karena merupakan permasalahan yang paling banyak dihadapi oleh masyarakat.

“Dan yang terakhir ialah meningkatkan kemampuan UMKM di Indonesia dalam rangka mendorong penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5  +  4  =