Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Kondisi utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) makin mengkhawatirkan. Posisi Utang BUMN mencapai Rp5.613 triliun pada akhir 2018. Akan melampaui Rp6.000 triliun pada akhir 2019.
Pembayaran pokok utang dan bunga utang pun makin menjadi beban berat. Seolah hanya menunggu waktu, beberapa BUMN berpotensi gagal bayar. Jika terjadi, efek menularnya dapat meluas dengan cepat.
Pemerintah tentu menyangkal kekhawatiran itu. Dikemukan bahwa sebagian besar utang BUMN berupa dana simpanan masyarakat (DPK) pada empat bank BUMN. DPK senilai Rp3.219 triliun merupakan 57,35% dari total utang. DPK dianggap tidak bersifat menekan arus kas serta keseluruhan kinerja keuangan BUMN.
Bantahan ini tampak kurang relevan. Utang BUMN yang bukan DPK justeru naik amat pesat pada akhir tahun 2018, dibanding akhir tahun sebelumnya. Naik dari Rp1.623 triliun menjadi Rp2.394 triliun. Sedangkan DPK justeru relatif stagnan, dari Rp3.207 triliun menjadi Rp3.219 triliun.
DPK memang bersifat sangat aman dalam kondisi perekonomian yang normal. Akan tetapi, DPK juga memiliki risiko besar jika keadaan resesi, apalagi jika ekonomi bergejolak. Para pemilik dana mungkin saja menariknya secara bersamaan dalam waktu singkat (rush). Indonesia pernah mengalaminya di masa lalu.
Pemerintah dan pihak BUMN juga mengemukakan soal rasio keuangan yang masih amat baik. Peningkatan utang diimbangi oleh kenaikan nilai aset. Rasio utang atas aset BUMN secara umum tampak masih sangat aman.
Akan tetapi, kenaikan nilai aset hanya naik 12,23% pada tahun 2018, jauh lebih rendah dibanding laju tambahan utang yang 47,5%. Rasio utang atas aset meningkat drastis, dari 66,99% menjadi 69,36%. Akan melampaui 70% pada akhir tahun 2019.
Perlu diketahui bahwa rasio yang sempat turun signifikan pada tahun 2015 dan 2016 adalah karena revaluasi banyak BUMN besar pada tahun itu. Aset meningkat karena dinilai ulang menjadi lebih tinggi. Tidak realistis jika revaluasi serupa dilakukan lagi dalam waktu dekat.
Catatan lain adalah mengenai “kualitas aset”. Sebagian aset merupakan piutang, yang kondisinya saling berkait erat antar BUMN keuangan dengan yang nonkeuangan.
Sebagian aset lainnya bersifat “organis” dengan keberadaan dan operasional korporasi. Bukan merupakan aset yang dapat dicairkan secara parsial untuk mengurangi beban utang. Semisal, tiang dan kabel bagi PLN.
Pertumbuhan ekuitas juga naik secara lebih lambat, hanya 4,2% pada tahun 2018. Sebelumnya, modal sempat tumbuh signifikan, antara lain karena genjotan penyertaan modal negara (PMN) melalui APBN. Belakangan, laju PMN berkurang signifikan. Salah satu sebabnya, tekanan pada kondisi utang Pemerintah.
Beban pembayaran utang BUMN menjadi lebih berat karena yang termasuk meningkat pesat adalah utang luar negeri (ULN) nya. ULN BUMN melonjak drastis, dari US$33,25 miliar (2017) menjadi US$45,56 miliar (2018). Bahkan, posisi pada Juni 2019 telah mencapai US$49,84 miliar.
Beratnya beban diindikasikan pula oleh meningkatnya porsi utang jangka pendek, yang harus dilunasi kurang dari satu tahun. Utang jangka pendek BUMN nonkeuangan telah mencapai 27,26% dari total utangnya pada Maret 2019. Padahal, porsi pada akhir tahun 2018 hanya 22,57%. Dan pada tahun 2015 hingga 2017, porsinya selalu di bawah 20%.

Sekali lagi perlu diingat, DPK tidak termasuk dalam data porsi utang jangka pendek tadi, yang hanya khusus kelompok BUMN nonkeuangan. Kelompok ini pula yang mencatatkan kenaikan utang paling drastis pada akhir tahun 2018. Mencapai Rp922,64 triliun atau naik % dibanding akhir tahun 2017. Posisi Maret 2018 telah mencapai Rp945 triliun, dan diprakirakan terus meningkat hingga akhir tahun.
Dalam konteks demikian, menjadi relevan peringatan dari McKinsey & Company tentang banyaknya korporasi (termasuk BUMN) memiliki rasio penutupan bunga (ICR) kurang dari 1,5 kali. ICR menggambarkan kemampuan perusahaan dalam membayar bunganya, diukur dari laba sebelum bunga dan pajak. Idealnya, ICR setidaknya di atas 2 kali.
Belakangan ini, kelompok BUMN Karya merupakan yang paling mendapat sorotan dalam soal beban utang. Tim Riset CNBC Indonesia mengatakan bahwa mayoritas utang emiten BUMN karya tumbuh lebih dari dua kali lipat selama periode pertama administrasi pemerintahan Jokowi (2015-2018).
Beberapa BUMN karya tampak tengah bersikutat menangani beban utangnya. Informasi yang lebih presisi memang tak selalu tersedia, namun sebagiannya telah menjadi konsumsi publik. Berbagai masalah umum yang dibahas di atas, dialami dalam dosis yang lebih berat pada mereka. Porsi utang luar negeri, porsi utang jangka pendek, Interest Coverage Ratio (ICR), Debt to equity ratio (DER), dan lainnya.
Sementara itu, ada hubungan amat erat yang berjalin berkelindan antara utang BUMN nonkeuangan dengan bank BUMN. Erat pula dengan kondisi keuangan pemerintah, termasuk soalan surat utangnya. Cukup jelas bahwa utang beberapa BUMN besar bukan soalan korporasi biasa.
Jika tak segera diatasi secara cepat dan sistematis, maka utang BUMN dapat menjelma menjadi bom waktu. Bisa menjadi pemicu krisis. Dapat pula menjadi faktor memperparah kondisi jika terjadi resesi ekonomi.
Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN)*