Channel9.id – Jakarta. Dua hari sebelum Badai Biparjoy, seorang nelayan bernama Murtazza Jati dan istrinya bergegas mengumpulkan semua barang di rumahnya untuk segera mengungsi dari desanya di selatan Sindh, Kamis (15/6). Disaat pasangan suami-istri tersebut menunggu badai itu selesai, ia terus mengkhawatirkan satu hal: Apa perahunya yang ia tinggalkan di pantai akan selamat dari badai? Apa perahunya masih akan tetap ada sekembalinya ia dari tempat pengungsian?
“Saya tak punya pilihan lain selain meninggalkan perahu saya. Saya khawatir, mata pencaharian saya bergantung terhadapnya,” ujar Jati kepada wartawan Al Jazeera. “Pemerintah menginformasikan kepada kami bahwa pada tanggal 10 Juni agar untuk tidak pergi melaut sampai badai selesai, dan tiga hari setelahnya, mereka meminta warga kami untuk segera melakukan evakuasi,” lanjutnya.
Lebih dari 80,000 warga yang tinggal di sepanjang pantai Sindh harus meninggalkan rumahnya dikarenakan potensi badai yang besar. Badai yang diklasifikasi sebagai badai siklon besar, badai Biparjoy diprediksi akan tiba pada Kamis sore.
Nelayan berusia 30 tahun itu tak mengetahui apakah ia dan warga desa lainnya lakukan jika perahu sumber mata pencahariannya hilang terbawa badai disaat mereka semua mengungsi di kota Jati, sekitar 30 kilometer dari pantai.
“Membuat satu perahu saja memakan biaya sampai 400,000 rupee, dan jika badai itu menghancurkan perahu saya, atau 20-25 perahu nelayan lainnya di desa kami, saya tak bisa membayangkan apa yang akan kami lakukan,” ujarnya.
Baca juga: Korban Badai Selandia Baru Bertambah, Situasi Kian Memburuk
Ali Muhammad, nelayan lainnya dari desa Ishaque Taimoor yang juga mengungsi mengatakan kalau ia juga khawatir dengan barang-barang yang ia tinggalkan di rumahnya, terutama ayamnya.
“Saya punya tiga ayam di rumah, saya terus memikirkan mereka. Saya selalu berdoa kalau mereka akan selamat dari badai,” ujarnya dengan muka penuh cemas.
Menurut data dari Badan Meteorologi Pakistan (PMD), badai itu mempunyai kecepatan mencapai 150 – 160km per jam.
(RAG)