Opini

Bahaya! Deindustrialisasi Masih Berlanjut

Oleh: Awalil Rizky*

Kinerja sektor industri pengolahan memburuk pada tahun 2019. Melanjutkan gejala deindustrialisasi yang telah berlangsung satu dekade. Deindustrialisasi yang bersifat prematur menjadi salah satu akar permasalahan perekonomian secara keseluruhan. Seperti stagnannya pertumbuhan ekonomi dan defisit transaksi berjalan.

Pertumbuhan sektor industri pengolahan hanya sebesar 3,8%, dan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,02% pada tahun 2019. Terendah sejak tahun 2011. Pada 2011-2019 rata-rata sektor ini tumbuh 4,56% per tahun, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,43%.

Sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 0,8% pada tahun 2019, yang juga capaian terendah. Kontribusinya cenderung turun selama beberapa tahun terakhir, selalu di bawah 1%. Dahulu selalu di atas 1%.

Bagaimanapun, sektor industri masih penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan sektor lainnya dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Hal itu disebabkan porsinya dalam PDB masih yang terbesar hingga kini.

Porsinya dalam struktur PDB itu sendiri sebenarnya terus mengalami penurunan secara perlahan. Dari 21,76% pada tahun 2011 menjadi 19,7% pada tahun 2019.

Kinerja industri pengolahan tampak menurun selama satu dekade terakhir. Beberapa subsektor memang masih tumbuh cukup tinggi dan bahkan potensial untuk menjadi andalan pada tahun-tahun mendatang. Akan tetapi, secara umum telah terjadi deindustrialisasi.

Deindustrialisasi tidak selalu berarti jelek. Dalam beberapa kasus negara maju dan berpendapatan tinggi, deindustrialisasi bisa dikatakan sebagai tahap lanjutan. Sektor-sektor jasa modern berkembang untuk mendukung sektor industri, dan sebagian cukup besarnya bersifat dapat dijual ke luar negeri (tradeable). Meski porsinya dalam PDB menurun, sektor industrinya masih besar dan kuat, serta bisa menjadikan   fundamental ekonomi tetap kokoh. 

Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia bersifat prematur. Belum saatnya terjadi, karena porsi industri belum sempat melampaui 30 persen, dan tingkat pendapatan per kapita masih belum cukup tinggi. Sebagian cukup besar dari sektor jasa yang tumbuh menggantikan posisi industri pun bersifat “nonmodern”. Tidak berkembang dalam kerangka memperkuat industri, tidak bisa diperdagangkan ke luar negeri, dan berproduktifitas rendah. Akibatnya, fundamental dan struktur ekonomi menjadi lebih rapuh dari sebelumnya.

Penurunan kinerja industri pengolahan dapat dicermati pula dari dampak langsungnya pada beberapa aspek perekonomian. Diantaranya adalah pada penurunan serapan tenaga kerja sektor industri, dampak pada keuangan negara dan dampak pada sektor keuangan.

Pada 2012-2019, jumlah pekerjanya hanya bertambah 2,79 juta orang. Secara persentase, hanya naik dari 14,34% menjadi 14,96%. Dikaitkan dengan porsinya atas PDB yang turun pada saat bersamaan, maka nilai tambah per pekerja pun turun. Fakta ini memberi indikasi bahwa sektor industri yang masih tumbuh pesat dan menyerap tenaga kerja adalah yang tergolong berteknologi rendah atau yang lebih padat karya.

Dampak pada keuangan negara terlihat dari sumbangan sektor industri pada penerimaan pajak selama beberapa tahun terakhir cenderung stagnan atau hanya mengalami peningkatan kecil secara nominal. Secara porsi, terjadi penurunan dari 31,15% (2013) menjadi 28,38% (2018).

Dampak pada sektor finansial antara lain berupa turunnya porsi penyerapan kredit industri di perbankan. Porsinya hanya mencapai 16,5% pada tahun 2018. Sebelum deindustrialisasi, porsinya di atas 30%.

Permasalahan kredit perbankan itu juga menciptakan kondisi yang makin rumit. Kalangan pelaku usaha mengeluhkan tingginya bunga untuk kredit industri sehingga menyebabkan sulitnya pembiayaan untuk pengembangan industri. Di sisi lain pelemahan industri menjadikan pihak bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit pada sektor tersebut.

Bagaimanapun, deindustrialisasi yang prematur masih belum dapat dihentikan atau dibalik arahnya. Tentu fenomenanya perlu dikaji secara lebih mendalam, tak sekadar pandangan selintas seperti tulisan ini. Juga bukan berupa klaim Indonesia sedang transformasi menuju “negara jasa”. Salah satu pertanyaan yang harus dijawab oleh kajian adalah apakah diakibatkan kapasitas produksi yang kecil dan hanya meningkat perlahan, ataukah lebih disebabkan faktor permintaan yang menurun.

Secara hipotetis, jawaban atas pertanyaan itu bersifat resiprokal. Permintaan akan tumbuh pesat jika terjadi gairah perekonomian atau pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan membutuhkan perbaikan struktur ekonomi yang mensyaratkan industrialisasi. Kondisi demikian memmungkinkan perbaikan imbal hasil pada tenaga kerja, yang nantinya memacu permintaan berupa kekuatan konsumsi domestik.

Oleh karenanya, pendekatan untuk mengembangkan kembali industri perlu dilaksanakan dengan strategi yang komprehensif. Upaya memperbaiki kemampuan produksi sektor industri dilakukan bersamaan dengan mendorong tumbuhnya daya beli masyarakat agar permintaan tumbuh lebih agresif.

Harus diingat bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang amat besar dan wilayah yang luas, maka peran sektor industri pengolahan yang besar adalah keniscayaan. Industrilialisasi masih harus terus didorong. Industrialisasi nya pun mesti didahului dan tetap berkait erat dengan pengembangan sektor pertanian. Opini tentang kita sedang transformasi menjadi negara jasa tidak memiliki argumen yang jelas, kecuali ngeles. 

*Chief Economist Institut Harkat Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15  +    =  16