Channel9.id – Jakarta. Ikatan Psikolog Klinisi (IPK) Indonesia melakukan penelitian ‘Dampak Belajar dari Rumah (BDR) Terhadap Kondisi Psikologis Siswa. Dari 15.304 siswa yang dilibatkan, hasilnya BDR Relatif lebih baik dibandingkan pembelajaran tatap muka. Pun BDR tidak menimbulkan stress lebih tinggi dibanding metode pembelajaran lainya.
“Dampak Buruk BDR Terhadap Kondisi Psikologis siswa tidak dapat dijadikan alasan pembukaan sekolah,” kata Ketua IPK Indonesia, Indria Laksmi, Selasa 15 Desember 2020.
Karena itu, IPK meminta pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk menunda pembukaan sekolah hingga tingkat infeksi Covid-19 kurang dari 5% sesuai rekomendasi WHO.
Dengan adanya hasil penelitian itu, Pengamat dan Aktivis Pendidikan Jimmy Paat menyatakan, sejumlah pihak yang mendukung pembukaan sekolah tidak bisa lagi menggunakan alasan bahwa BDR tidak baik untuk psikolog anak.
“Yang tidak kalah menariknya para pendukung sekolah sebaiknya dibuka pakai “alasan” psikologi (anak). Tapi ternyata para psikolog menyarankan jangan dulu dibuka,” kata Dosen UNJ ini, Kamis 17 Desember 2020.
Dirinya pun mengaku, selama ini tidak menyarankan pemerintah untuk membuka sekolah. Ternyata, saran tersebut didukung oleh penelitian para Psikologi.
“Saya sendiri selama ini hanya pakai akal sehat yang menyarankan jangan buka sekolah. Ternyata pandangan saya bisa didukung oleh penelitian para psikolog,” katanya.
Di samping itu, Jimmy pun mengajak para pakar pendidikan untuk merefleksikan diri dan mencari tahu apakah Pendidikan Jarak Jauh yang sesungguhnya.
“Kita orang pendidikan seharusnya bicara di Pendidikan Jarak Jauh yang sesungguhnya. Pertanyaan yang harus dijawab para sarjana pendidikan atau paling tidak LPTK adalah apakah PJJ yang sesungguhnya sudah berjalan?” pungkasnya.
Penelitialn itu dilakukan IPK Indonesia yang didukung oleh Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud paad November 2020. Penelitian ini melibatkan 15.304 siswa di jenjang pendidikan SD (kelas 4-6), SMP, SMA, dan SMK sebagai partisipan. Mereka berasal dari sekolah-sekolah di 6 wilayah di Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua).
(HY)