Oleh: Arcandra Tahar*
Channel9.id-Jakarta. Donald Trump sudah dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-47 pada hari Senin tanggal 20 Januari 2025 di Washington DC. Jutaan mungkin milyaran mata menyaksikan bagaimana transisi kekuasaan berlangsung secara damai dan memberi pelajaran kepada yang mau membaca makna dari setiap keputusan presiden (Executive Order) yang diambil Presiden Trump sesaat setelah dilantik. Dan patut disimak juga siapa-siapa yang diundang dalam acara pelantikan ini.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui pemahaman setiap orang terhadap langkah yang diambil oleh Presiden Trump, tidak juga bermaksud untuk menilai salah dan benar dari executive orders tersebut. Tulisan ini berupaya melihat sisi lain bagaimana seorang presiden yang menjadi leader, tentu juga bukan manager, dalam memulai kepemimpinannya dengan setting the tone (arah yang jelas).
Hal-hal apa yang bisa kita pelajari dari Executive Orders yang sudah ditandatangani tersebut? Tentu fokus kita hanya pada bidang energi dan pertambangan. Pertama, keputusan-keputusan tersebut sangat mudah dipahami, jelas dan tidak bermain di wilayah abu-abu. Misalnya Presiden Trump menyatakan keluar dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang sudah disepakati oleh banyak negara pada tahun 2015. Perjanjian ini bertujuan agar negara-negara didunia berkomitmen secara bersama-sama untuk memperbaiki perubahan iklim akibat dari tidak mampunya alam menyerap emisi karbon dari CO2 dan methane misalnya.
Banyak negara yang mendukung program pengurangan emisi karbon lewat pengurangan pengunaan bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak bumi. Di atas kertas semuanya terasa indah tapi kenyataannya mereka tidak berkomitmen melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Tentu banyak alasan yang bisa dikemukan oleh negara-negara yang berada pada jalur abu-abu ini. Diantara alasan tersebut adalah menyangkut ongkos yang lebih mahal yang harus ditanggung oleh rakyatnya apabila menggunakan energi terbarukan.
Keputusan tegas dari Presiden Trump selanjutnya adalah mendeklarasikan darurat energi secara nasional (National Energy Emergency). Apa implikasi dari deklarasi ini? Peraturan-peraturan di bidang lingkungan yang menghambat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oil dan gas serta pertambangan akan diperbaiki. Selanjutnya kegiatan drilling di beberapa lokasi di laut lepas yang selama ini dilarang oleh Presiden Biden akan diperbolehkan lagi. Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah diperbolehkannya kembali aktifitas oil dan gas di beberapa wilayah Alaska yang selama ini terlarang.
Yang mengejutkan Presiden Trump menghentikan proses penawaran wilayah untuk project offshore wind turbine di laut-laut yang dikontrol pleh pemerintah federal (pusat). Sebelumnya Presiden Biden sangat mendorong project ini. Tentu presiden Trump punya alasan tersendiri menyangkut penghentian kegiatan ini
Dengan Executive Order dari Presiden Trump kita semua bisa belajar dan harus realistis dalam menyikapi energi transisi dari fosil ke energi terbarukan ini. Walaupun daya beli dari masyarakat AS jauh lebih tinggi dibandingkan banyak negara di dunia tapi kalau sudah menyangkut energy security (ketahanan energi) mereka mendahulukan sumber energi yang mereka punya terlebih dahulu.
Pelajaran kedua dari Executive Order dan acara pelantikan ini adalah diundangnya dan bergabungnya para tokoh teknologi yang akan berjuang bersama Presiden Trump untuk mewujudkan program-programnya. Diantara yang berada di barisan depan setelah keluarga Presiden Trump adalah CEO Meta Mark Zuckerberg, CEO Amazon Jeff Bezos CEO Google Sundar Pichai and Elon Musk, salah seorang penasehat terdekat Presiden Trump yang juga CEO dari Tesla, SpaceX dan platform X. Tidak ketinggalan CEO Apple Tim Cook, CEO TikTok Shou Zi Chew. Dalam rangkaian acara pelantikan ini juga hadir founder Oracle Larry Ellison and CEO OpenAI Sam Altman.
Pertanyaan kita adalah kenapa para billionaires yang berbasis teknologi ini diundang ke pelantikan Trump? Apakah mungkin mereka terpaksa datang untuk menyelamatkan perusahaan mereka dari kebijakan Presiden Trump yang mungkin tidak sejalan dengan misi perusahaan mereka? Tentu tidak ada yang tahu pasti, tapi ada beberapa petunjuk yang mungkin bisa dianalisa.
Presiden Trump percaya bahwa pertumbuhan ekonomi di AS sangat ditunjang oleh industri berteknologi tinggi. Kekayaan alam yang mereka punya dimanfaatkan untuk membangun industri berbasis teknologi seperti Tesla dan SpaceX. Untuk itu diperlukan orang-orang yang kompeten dan profesional dibidangnya.
Karena di AS tidak ada BUMN, maka talenta-talenta terbaik yang akan membangun negara ada di perusahaan swasta. Mereka bebas berkreasi dan berinovasi menciptakan lompatan teknologi yang merubah peradaban umat manusia.
Langkah Presiden Trump dengan meminta para tech billionaires menjadi advisor dan anggota kabinet membuat kepercayaan investor naik. Rasanya menteri-menteri kabinet Trump akan nyaman dengan dukungan dari para tech billionaires ini. Usaha-usaha untuk mendatangkan investasi akan lebih mudah. Buktinya beberapa jam setelah pelantikan, Masayoshi Son, chairman and CEO of SoftBank berkomitmen bersama Larry Ellison and Sam Altman untuk investasi sebesar USD 500 billion (sekitar 8 ribu triliun rupiah) dalam empat tahun kedepan. Apakah komitmen ini akan terlaksana atau tidak tentu kita tunggu realisasinya.
Itulah sedikit pelajaran yang bisa kita ambil dari pelantikan Presiden Trump. Semoga bermanfaat.
*Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia pada Kabiner Kerja Presiden Joko Widodo
Baca juga: Lima Strategi Jepang dalam Membangun Keamanan Energi