Hot Topic Nasional

Bentrokan di Rempang, Polda Kepri: Sebagian Warga Ganggu Aktivitas BP Batam

Channel9.id – Jakarta. Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau terlibat bentrok dengan aparat gabungan TNI, Polri, dan Badan Pengusahaan (BP) Batam Kamis (7/9/2023) siang. Polda Kepri menyebut bentrokan tersebut karena sebagian masyarakat mengganggu aktivitas Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk merealisasikan proyek pengembangan Rempang Eco City.

Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad mengatakan beberapa warga yang menolak itu memblokade jalan masuknya BP Batam ke kawasan yang hendak dilakukan pengembangan tersebut. Karena hal inilah, lanjut Zahwani, kepolisian mengambil langkah tegas.

“Ada sebagian masyarakat yang menolak dan tentunya ini yang menolak ini yang sedikit banyak agak mengganggu aktivitas. Jadi kami kemarin ini melakukan penertiban dalam rangka karena ada beberapa tempat yang diblokade oleh sekelompok masyarakat tersebut yang menentang terhadap rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City,” ujar Zahwani, Jumat (8/9/2023).

Ia mengklaim BP Batam dan Tim Terpadu sudah melakukan sosialisasi dan musyawarah tentang maksud dan tujuan rencana pembangunan Rempang Eco City tersebut. Namun, menurutnya, beberapa masyarakat yang menolak proyek tersebut memang sudah merencanakan untuk melakukan perlawanan.

“Tetapi di antara warga masyarakat yang menolak tersebut ada aksi yang sudah diniatkan untuk melakukan pelanggaran atau perbuatan pelanggaran hukum, salah satunya mempersiapkan katapel, senjata tajam, parang, bongkahan-bongkahan batu, bahkan yang sangat membahayakan masyarakat maupun petugas adalah sudah mempersiapkan bom molotov,” ungkap Zahwani.

“Ini yang kami lakukan sebagai anggota Polri tentunya penekanan langsung dari Kapolda Kepulauan Riau Bapak Irjen Pol Tabana Bangun selalu mengedepankan bagaimana kita melakukan upaya-upaya secara persuasif, humanis, dan mengedepankan hati yang tenang bukan emosi. Itu yang kami lakukan,” pungkasnya.

Di sisi lain, Kuasa hukum Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Alfons Loemau mengatakan Otorita Batam (kini BP Batam) telah melakukan tindakan sepihak untuk mengusir masyarakat Pulau Rempang dari tanahnya tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Padahal, kata Alfons, Komnas HAM telah menyurati Otorita Batam untuk melakukan mediasi sebagai langkah persuasif agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Namun hingga saat ini, lanjutnya, tindakan persuasif tersebut tidak pernah dilakukan Otorita Batam.

“Masyarakat sudah menaruh prasangka karena beberapa saat sebelum ini, sejak mereka melaporkan pada Komnas HAM pada Juli, telah terjadi kegiatan-kegiatan sepihak. Karena dari Otorita Batam merasa bahwa dia adalah sebagai yang memiliki hak atas wilayah tersebut, sedangkan masyarakat merasa terganggu dengan kegiatan tersebut karena masyarakat merasa belum pernah ada sosialisasi, belum dijelaskan apa sebenarnya yang akan dikerjakan,” kata Alfons saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (7/9/2023).

Alfons menuturkan, masyarakat Pulau Rempang sejatinya tidak menolak proyek pengembangan Rempang Eco City oleh Otorita Batam selagi itu dapat menyejahterakan mereka. Namun, ia mengatakan Otorita Batam sejauh ini tidak melibatkan masyarakat Pulau Rempang atas proyek yang akan berdiri di atas tanah mereka.

“Terhadap rencana pemerintah tersebut, tidak ada masalah bagi masyarakat. Yang jadi masalah, sejauh mana otorita sebagai yang akan menerima hak pengelolaan mensosialisasikan ke masyarakat agar masyarakat merasa pembangunan ini menjadi bagian dari upaya mensejahterakan masyarakat. Yang terjadi adalah otorita sebagai yang mewakili pemerintah tidak melakukan tindakan-tindakan persuasif yang memadai,” tutur Alfons.

Masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) tengah menghadapi ancaman penggusuran dalam proses pengembangan Rempang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG).

Konflik di Pulau Rempang ini bermula ketika Menteri Agraria/Kepala Badan Petanahan Nasional (BPN) melalui Surat Keputusan Nomor 9-VIII-1993 memberikan hak kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (kini bernama BP Batam) untuk mengelola seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya dengan beberapa syarat.

Namun, BP Batam rupanya tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan Menteri Agraria untuk mengelola lokasi tersebut. Salah satu syaratnya berbunyi “apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Penerima Hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah.” Hingga saat ini, syarat tersebut belum dipenuhi BP Batam.

Di tengah situasi tersebut, pada Kamis (7/9/2023), aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP memaksa masuk warga yang menolak penggusuran ke dalam kampung adat Pulau Rempang dengan menembakkan gas air mata dan water cannon.

Diketahui, polisi menerjunkan sekitar 1.000 personel untuk mengawal aktivitas pematokan dan pengukuran tanah di Pulau Rempang oleh BP Batam. Sementara itu, ribuan warga Rempang yang menolak pematokan tanah membentuk barikade di Jembatan 4, Pulau Rempang, Kota Batam.

Warga yang menolak penggusuran melempari aparat dengan batu di tengah kepulan gas air mata dan semprotan water cannon. Akibatnya, sebanyak enam warga ditangkap dan dibawa ke Polresta Barelang.

Baca juga: Kapolri Sebut Bentrokan di Rempang Karena Sekelompok Warga Kuasai Lahan Milik BP Batam

Baca juga: Mencekam! Warga Rempang Bentrok dengan Aparat Gabungan, Dihujani Gas Air Mata dan Water Cannon

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  5  =