Opini

Berapa sih Biaya Pemulihan Ekonomi Nasional?

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Pandemi covid-19 hingga kini belum berakhir di Indonesia. Korban terinfeksi dan yang meninggal masih terus bertambah. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah diberlakukan di beberapa daerah. PSBB berdampak pada penurunan aktifitas perekonomian secara signifikan.

Sebelum Indonesia, banyak negara telah memberlakukan kebijakan serupa. Bahkan, ada yang lebih ketat. Arus perjalanan orang dan barang antar negara pun merosot drastis. Sektor pariswisata Indonesia langsung terpukul. Ekspor dan impor makin terkendala.

Belum genap dua bulan sejak Pemerintah mengumumkan pandemi, dampak ekonomi telah terasa berat. Meski pandemi belum berakhir, Pemerintah merancang kebijakan atau program pemulihan ekonomi nasional (PEN). PEN memerlukan biaya, yang terutama berasal dari APBN.

APBN 2020 tentu saja belum mengalokasikan dana PEN, karena memang tak menduganya. Belanja negara telah bertambah karena kebijakan penanganan pandemi secara langsung, seperti untuk sarana kesehatan dan obat-obatan. Padahal, pendapatan negara akan mengalami penurunan yang amat siginifikan. Antara lain karena turunnya penerimaan perpajakan yang memang mencerminkan dinamika ekonomi nasional.

Pemerintah menyadarinya dan mengeluarkan Perpres no.54/2020 tertanggal 3 April yang mengubah postur APBN. Berpayung hukum Perppu no.1/2020, konten perpres merupakan APBN Perubahan. Prosesnya tidak lagi melalui mekanisme normal, yang perlu pembahasan cukup lama dengan DPR.

Perpres ini menambah anggaran sebesar Rp405,1 triliun. Tambahan belanja biaya penanganan COVID-19 sebesar Rp255,1 triliun, dengan mencantumkannya dalam berbagai pos secara cukup rinci. Sisanya sebesar Rp150 triliun disebut sebagai dukungan pembiayaan PEN, yang dicantumkan dalam pos pengeluaran pembiayaan. Namun, belum ada rinciannya.

Rincian baru disampaikan kepada DPR pada 12 Mei. Perppu sebenarnya memungkinkan pemerintah langsung mengubah alokasi APBN. Namun karena pembiayaan PEN dirancang mencakup kucuran dana kepada BUMN, maka dijelaskan kepada Komisi XI DPR.

Beberapa hari sebelumnya, pada 9 Mei telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2020, yang memberi landasan hukum bagi kebijakan yang lebih luas dari sekadar pasal tentang pembiayaan dalam Perpres. Tercermin dari “judul” yang mencakup banyak hal, yaitu tentang PELAKSANAAN PROGRAM PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL DALAM RANGKA MENDUKUNG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID- 19) DAN/ATAU MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN SERTA PENYELAMATAN EKONOMI NASIONAL.

Rencana PEN tampak makin jelas pada 18 Mei, dalam paparan Kementerian Keuangan yang lebih terinci. Menariknya, Outlook APBN 2020 terkini turut disampaikan, karena memang menjadi berubah dari yang ditetapkan oleh Perpres tanggal 3 April.

Pengelompokkan alokasi dana tampak berbeda dari sebelumnya. Desain kebijakan PEN dianggap terdiri dari dua hal utama, yaitu stimulus konsumsi dan stimulus usaha. Penjelasannya disertai rincian program (instrumen kebijakan), sasaran penerima akhir, dan alokasi dananya. Besaran alokasi dananya mencapai Rp641,17 triliun. Telah termasuk seluruh alokasi Rp405 triliun yang sebelumnya disebut Perpres, kecuali alokasi Rp75 triliun untuk kesehatan.

Instrumen kebijakan kini dirinci menjadi 8 kelompok. Yaitu: dukungan konsumsi (Rp172,10T), subsidi bunga (Rp34,15T), insentif perpajakan (Rp123,01T), Subsidi BBN dalam rangka B 30 (Rp2,78T), percepatan pembayaran kompensasi (Rp90,42T), Tambahan Belanja K/L dan Sektoral (Rp65,10T), dukungan untuk Pemda (Rp15,10T), Penjaminan untuk Kredit Modal Kerja Baru bagi UMKM (Rp6,00T), dan Penyertaan Modal Negara kepada BUMN (Rp25,27T). Talangan Investasi untuk Modal Kerja (Rp19,65T), Penempatan Dana Pemerintah di Perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit UMKM (Rp87,59T).

Dengan demikian, prakiraan Pemerintah terkini tentang alokasi APBN untuk penanganan pandemi COVID-19 beserta biaya PEN sebenarnya mencapai Rp716,17 triliun. Nilai itu tidak ada dalam paparan Pemerintah, melainkan penulis peroleh dari biaya PEN sebesar Rp641,17 triliun ditambah alokasi untuk kesehatan sebesar Rp75 triliun.

Tambahan alokasi anggaran tidak berarti belanja negara dalam APBN bertambah sebanyak itu. Ada penghematan dan realokasi pos-pos belanja, serta pengeluaran yang bersifat pembiayaan. Total belanja negara dalam APBN 2020 (Rp2.540,4 triliun), dalam Perpres (Rp2.613,8 triliun), dan outlook 18 Mei (Rp2.720,1 triliun).

Jika dicermati, rencana pengeluaran pada pos belanja atau pada pos pembiayaan masih berubah-ubah. Sejauh ini yang tampak berubah-ubah antara lain: nilai alokasi total dana, pengelompokan instrumen kebijakan, dan penempatannya sebagai belanja atau pembiayaan.

Tentang tujuan program PEN, portal Kementerian Keuangan mengatakan bertujuan melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selama pandemi COVID-19. Ditambahkan, untuk UMKM diharapkan dapat ‘memperpanjang nafas’ UMKM dan meningkatkan kinerja UMKM yang berkontribusi pada perekonomian Indonesia.

Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2021 sebagai dokumen resmi Pemerintah, pada halaman 103 menjelaskan,” Melalui berbagai paket stimulus dan program pemulihan ekonomi tersebut, diharapkan penanganan COVID-19 berjalan efektif, proses pemulihan sosial-ekonomi dapat dipercepat sehingga perekonomian nasional dapat terhindar dari krisis lebih dalam.”

Berbagai penjelasan itu bisa saja ditafsirkan bahwa alokasi dana sebesar Rp716,17 triliun (per 18 Mei) sebetulnya belum lah untuk pemulihan ekonomi. Baru untuk penanganan langsung dan agar perekonomian tidak mengalami krisis yang lebih dalam.

Kita mesti ingat pula pameo “setannya sering bersembunyi pada rincian”. Pemerintah mesti lebih lugas dalam pemaparan rencana aksi, hingga hal yang cukup terinci. Mengingat perkembangan kondisi pandemi, tidak berarti haramnya perubahan. Namun, perubahan dalam waktu singkat, apalagi soal pengelompokan dan perlakukannya dalam pos APBN, mengisyaratkan soalan yang kurang baik.

Rencana aksi mestinya merupakan kebijakan yang mudah dievalusi dan diberi masukan. Pandemi bisa menjadi momentum penyertaan partisipasi rakyat dalam pengelolaan keuangan negara.

*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  26  =  31