Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi luka panjang sekaligus tantangan besar bagi Indonesia. Lebih dari 10 ribu keluarga harus meninggalkan rumahnya, sementara 1.100 hektare lahan berubah menjadi padang lumpur tak produktif. Tingginya kandungan garam, logam berat seperti kadmium (Cd) dan timbal (Pb), serta struktur tanah yang rusak membuat rehabilitasi wilayah ini bukan perkara mudah.
Namun, di tengah keputusasaan, muncul peluang baru: biochar.
Biochar sebagai Harapan Baru
Penelitian menunjukkan biochar—arang aktif yang dihasilkan dari biomassa melalui pirolisis—mampu memperbaiki kualitas tanah tercemar. Studi tahun 2020 membuktikan, biochar dari sekam padi dan tongkol jagung dapat menurunkan kadar Cd hingga 21 persen, meningkatkan pH, serta memperkaya kandungan organik tanah. Penelitian terbaru bahkan lebih menjanjikan: kombinasi biochar dengan bakteri Bacillus sp. mampu mengurangi Cd hingga 52 persen dan Pb hingga 25 persen di tanah Desa Besuki, Kecamatan Jabon, area terdampak lumpur.
Biochar tidak hanya mengimobilisasi logam berat, tetapi juga meningkatkan kapasitas tukar kation, retensi air, dan aktivitas mikroba—semua faktor yang krusial untuk mengembalikan produktivitas tanah.
Dari Bencana ke Peluang
Rehabilitasi dengan biochar bisa menjadi katalis bagi transformasi sosial-ekonomi di Sidoarjo. Produksi biochar berbasis limbah pertanian (sekam padi, tongkol jagung, biomassa lokal) membuka peluang lapangan kerja baru. Mulai dari pengumpulan bahan, operasional pirolisis, hingga distribusi ke petani.
Model ini bukan utopia. Studi-studi menunjukkan bahwa biochar mampu meningkatkan hasil panen 10–15 persen, efisiensi air hingga 20 persen, dan kandungan karbon tanah hampir 40 persen. Artinya, biochar tidak sekadar menutup luka lama, tapi juga bisa membuka ruang bagi pertumbuhan ekonomi baru: koperasi biochar, jasa remediasi tanah, hingga agribisnis berkelanjutan.
Pangan, Ekonomi, dan Karbon
Jika lahan Lapindo kembali produktif, maka kemandirian pangan lokal bisa terwujud. Tanah yang tadinya mustahil ditanami bisa menghasilkan padi, sayuran, atau komoditas lain, sekaligus mengurangi ketergantungan impor.
Lebih dari itu, biochar punya nilai tambah strategis: karbon kredit. Karena biochar menyimpan karbon secara permanen, proyek biochar di Sidoarjo berpotensi masuk ke pasar karbon nasional maupun global. Masyarakat bisa mendapat pendapatan baru dari penjualan kredit karbon, sambil ikut mendukung target FOLU Net Sink 2030 Indonesia.
Gagasan ini tentu tidak bisa berdiri sendiri. Dukungan pemerintah mutlak dibutuhkan. Kementerian Pertanian, KLHK, maupun Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) harus turun tangan melalui pilot project yang serius. Perguruan tinggi seperti Universitas Airlangga dan UPN Jatim juga dapat menjadi mitra riset dan pendampingan teknis.
Bila semua pihak bersinergi, lumpur Lapindo yang selama hampir dua dekade menjadi simbol bencana bisa bertransformasi menjadi simbol ketangguhan bangsa. Dari lahan mati menjadi lahan hidup, dari tragedi menjadi energi baru, dari beban menjadi harapan.
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)
Baca juga: Biochar: Bara Hitam untuk Hijau Indonesia