Opini

Bom Bunuh Diri, The True Believer dan Problematika Deradikalisasi

Oleh Edy Budiyarso*

Channel9.id-Jakarta. Aksi bom bunuh diri Agus Sujatno alias Agus Muslim di Polsek Astana Anyar Bandung, kembali menyadarkan publik bahwa ancaman terorisme itu nyata dan dekat dengan kita.

Aksi bom dan kecaman keras dan pernyataan tidak takut kepada pelaku teror nampak datang dari semua lapisan masyarakat. Hal inilah yang terpantau dari suara publik di semua kanal media massa.

Antipati mayoritas publik inilah yang sebenarnya tidak diharapkan para pelaku teror. Mereka berharap aksi mereka menimbulkan ketakutan, kebingungan massal, dan kekhawatiran massal bahwa aksi serupa akan muncul di kemudian hari.

Mengamati aksi teror sejak muncul serangkaian bom oleh Al Jamaah Al Islamiyah (JI) di awal 2000-an, situasi publik sekarang ini jauh lebih rasional. Mereka yang kerap menggunakan teori konspirasi yang hanya menambah kebingungan publik semakin sedikit. Inilah modal sosial di masyarakat yang harus terus dibangun untuk melawan segala bentuk terorisme.

Dari mulai JI dan kini rantingnya Jemaah Anshorut Tauhid (JAT) dan Jamaah Anshorut Daulah (JAD), organisasi yang diikuti oleh Agus Sujatno alias Abu Muslim pelaku bom bunuh diri. Abu Muslim ini, dia sebagai eksekutor langsung. Beda dengan aksi JI sebelumnya, dimana mereka mempersiapkan “pengantin” sebagai pelaku bom bunuh diri sedangkan pelaku utamanya tetap bersembunyi.

Profesor Bilveer Singh Peneliti kelompok militan di Asia Tenggara dari Rajaratnam School, Nanyang Teknologi University Singapura, pernah menyampaikan dalam contoh kasus terorisme di Indonesia. “Hal yang tak kalah pentingnya adalah (perhatian) atas perkembangan sel-sel kecil jihad yang hampir tidak mungkin tercium,” katanya.

Bisa jadi, Agus Muslim kini adalah bagian dari sel kecil, karena ranting besar mereka banyak dipatahkan oleh Densus 88 Polri yang terus mengendus gerak mereka. Karena ini pula, polisi kerap menjadi sasaran aksi mereka. Jika tesis ini benar, kelompok ini sebenarnya semakin terjepit dan sumber daya mereka semakin sedikit sehingga mereka sendiri yang melakukan eksekusi bom bunuh diri.

Namun, walaupun mereka semakin kecil dan terjepit kelompok (seperti disebut BNPT) aksi Agus Sujatno diduga kuat dibantu oleh jaringannya. Kelompok teror ini kerap terus mencari titik lemah untuk melakukan aksi.

Dengan keyakinan ideologis lewat dogma agama yang mereka anut mereka akan terus mencuri kesempatan melakukan teror. Dogma yang tertanam telah menjadikan mereka sebagai “the true believer” kelompok yang mengklaim paling beriman, sedangkan dil uar kelompoknya sebagai kafir.

Model Agus Sujatno alias Agus Muslim, termasuk kelompok teror kambuhan, karena sebelumnya bagian dari kelompok bom Cicendo, Agus Sujatno pernah dihukum 4 tahun penjara di Nusakambangan.

Dia kembali melakukan aksi terornya, hanya setahun setelah keluar dari penjara. Inilah pentingnya mendeteksi pergerakan pelaku teror dan mantan Napiter, terutama yang masih bestatus merah atau masih berbahaya karena belum sepenuhnya menyadari aksi-aksinya merusak kemanusian.

Baca juga: Kepedulian Densus 88 Polri pada Para Eks Napiter 

Dari diskusi dengan para peneliti napiter di berbagai penjara ditemukan poin-poin kritis bagaimana program deradikalisasi di dalam penjara memiliki kelemahan. Pertama, birokrasi Lapas yang rumit hingga narapidana terorisme kurang diperhatikan. Kedua over kapasitas penjara yang membuat program deradikalisasi yang seharus menyentuh individu napiter sulit optimal karena tempatnya tidak ada dan dalam beberapa kasus kejadian sebaliknya napiter malah mampu mengindoktrinasi napi umum untuk bergabung.

Selain itu jumlah populasi narapidana umum yang mencapai 277.000 sedangkan jumlah narapidana teroris hanya berjumlah 320-an. Sehingga dalam aspek pemasyarakatan, Dirjen PAS akan lebih mengarus utamakan yang 60 persen terbesar populasi dan mereka adalah narapidana narkoba baik bandar maupun pemakai. Maka, fasilitas, metode pemasyarakatan, teknis rehabilitasi lebih masuk akal digunakan untuk populasi terbanyak penghuni penjara dibandingkan untuk mengurus 320 orang saja. Akibatnya penjara kurang menggunakan resources untuk secara khusus memperhatikan narapida terorisme.

Dalam hal inilah kemunculan Agus Sujatno yang belum lama keluar dari penjara, kemudian mampu kembali melakukan aksi teror. Tidak jelas sudah adakah assesment kepada Napiter ini sampai kemudian bisa hidup di masyarakat.

Oleh karenanya instrumen criminal justice system yang di dalamnya ada unsur Polri (termasuk BNPT), jaksa, hakim pengadilan dan lembaga pemasyarakat, harus kembali merumuskan dan menyatupadukan gerak langkahnya.

Instrumen hukum, polisi jaksa dan hakim di pengadilan memberi hukuman lebih berat sebagai bentuk empati kepada para korban, atas aksi mereka. Tetapi, di sisi lain kehidupan napiter di dalam penjara perlu perhatian khusus antara BNPT dan Dirjen PAS, mengoptimalkan program deradikalisasi lebih masuk per individu.

Sehingga, para Napiter dapat dinilai. Mereka yang masih merah hanya bisa dikembalikan ke masyarakat dalam posisi kesadaran penuh telah menyadari kesalahannya. Itu pun mereka tetap harus dipantau, agar tidak kembali kepada kelompoknya seperti fenomena Agus Sujatno. Inilah bagian yang menurut Bilveer Singh cukup sulit karena mereka bergerak dalam sel kecil. Namun dengan resources yang dimiliki negara seharusnya bisa.

*Pengamat Kepolisian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

59  +    =  66