Azmi Syahputra*
Channel9.id-Jakarta. Penyelenggara dan petinggi BPJS diisi oleh orang yang tidak mengetahui detail medis, kurang memahami operasional pelayanan kesehatan, Banyak regulasi dan sistem kebijakan BPJS yang tidak tepat sudah lari jauh dari maksud filosofis UU SJSN dan UU Badan penyelenggara jaminan sosial. Ingat ada frase “jaminan sosial” atas perintah dan kehendak UU disini.
Kebijakan BPJS sudah tidak rasional sudah seperti “orang mabuk”, banyak kebijakan yang tidak dapat dioperasionalkan. Diperparah lagi, menimbulkan dampak dengan management yang selalu rugi, gejala banyaknya tutup faskes tingkat pertama (fktp).
Termasuk minimnya kesejahteraan bagi para tenaga kesehatan serta utang BPJS pada fasilitas kesehatan rumah sakit menunjukkan BPJS gagal total dan tidak memahami esensi perlindungan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Managemen BPJS dan kebijakannya ini tentunya berdampak pada reputasi dan memukul wajah pemerintah , pemerintah dapat dianggap “peras masyarakat”. Hal yang mendasar dan urgent tentang jaminan kesehatan masyarakat tidak dapat diatasi, dimana terus merugi ibarat “kapal BPJS semakin oleng”.
Apalagi solusi kekinian BPJS dengan rencana kenaikan tarif iuran peserta BPJS menunjukkan cara instan dan cenderung pola pikir ala pebisnis semata dari management. Ironisnya, disisi lain management BPJS masih hanya memikirkan peningkatan sarana untuk internal mereka saja.
Tahun lalu pada oktober 2018 Presiden Jokowi mengatakan seharusnya kegaduhan dan tema tunggakan utang BPJS tidak sampai ke Presiden cukup di level Menteri.
Kenaikan iuran JKN saat ini sekedar untuk menjaga kredibilitas negara, seolah sebagai sebuah konsekuensi UU SJSN. Namun, disisi lain keputusan menaikkan iuran saja, lebih membuktikan penyelenggara BPJS gagal faham karena belum mengkoreksi sumber masalah.
Jika ditelusuri pasal 19 sd 23 UU SJSN. Dalam pasal itu, ada implementasi daripada keadilan sosial dan memenuhi hak perlindungan dasar kesehatan rakyat.
JKN bukan alat memenuhi keadilan individu! Jika ini tidak segera di urus tuntas maka ditahun tahun mendatang, BPJS tinggal nama, dan perlindungan kesehatan rakyat hanya mimpi, rakyat meminta tanggung jawab pemerintah.
Perlu duduk bareng pemangku kepentingan, Presiden harus panggil kementrian terkait, Menteri Koordinator PMK dan para Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Sosial dan petinggi BPJS termasuk IDI. Ada yang timpang dalam kebijakannya, yang terkesan masih ego sektoral.
Karenanya dengan duduk bareng para pemangku kepentingan ini diharapkan dapat memetakan kebijakan, hak dan tanggung jawab guna untuk menemukan solusi atas keterpurukan BPJS. Ini bukan masalah kecil. Ini masalah esensi terkait dengan hak asasi yang harus terpenuhi yaitu hak atas kesehatan masyarakat.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)*