Nasional

Bukan Prioritas Saat Pandemi, Efektivitas Program Kartu Prakerja Dipertanyakan

Channel9.id-Jakarta. Program Kartu Prakerja kembali menuai polemik. Terlebih muncul wacana bahwa program ini akan segera diluncurkan, meski pandemi virus Corona (SARS-VoV-2) masih melanda Indonesia.

Sejumlah pihak menilai keputusan untuk meluncurkan program itu bukanlah hal tepat. Pasalnya, hari ini bencana kesehatan seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk ditangani. Salah satunya, anggota DPR RI Komisi IX, Netty Prasetyani.

mengungkapkan demikian pada diskusi online Ikatan Alumni Sejarah Universitas Negeri Jakara (IKASA UNJ) bertajuk “Kartu Prakerja di Tengah Pandemi, Perlu?” pada Minggu (26/4)..

Netty mengaku pihaknya belum dapat informasi yang utuh tentang Program Kartu Prakerja. Sebab pihaknya baru rapat kerja satu kali dengan pihak Kementerian Tenagakarjaan (Kemenaker).

“Kalau tidak salah, 20 November, kita membahas tentang program ini. Terus terang, kami mengkritisi program ini. Kementerian Perekonomian (Kemenko Perekonomian) disebut sebagai leading sektornya Kartu Prakerja. Para anggota kemudian mempertanyakan ‘kenapa ga di Kemenaker yang memiliki fungsi teknis?,” akunya.

Menurut Netty, DPR RI memiliki mitra. Namun, setelah ditelisik rupanya Kemenko tidak memiliki mitra di DPR RI. “Kalau begitu, untuk melakukan fungsi pengawasan ini agak sulit. Padahal yang sudah bermitra DPR saja harus minta izin ke pimpinan DPR kalau ada usulan dan lain-lain,” pungkasnya.

Ia mengaku masih mempertanyakan mengapa ditempatkan Kemenko Perekonomian dan bagaimana konsep program ini hingga siapa yang mengelola. “Lalu tiba-tiba COVID menerjang. Kami dikagetkan bahwa program ini akan tetap dilaksanakan,” ujar Netty.

Netty mencatat tiga hal terkait program ini. Ada beberapa catatan terkait program ini. “Yang pertama, sasaran. Pengangguran kita sudah banyak, menurut BPS 2019 ada 7,05 juta. Lalu, ditambah PHK dan lainnya selama pandemi. Kalau tujuannya untuk mengembangkan ketenagakerjaan di masa pandemi ini, timingnya tidak pas.”

“Yang kedua, terkait efektivitas. Pelatihan disebutkan akan dilakukan secara online. Padahal kalau mau memfokuskan perkembangan kompetensi dan peningkatan keterampilan pekerja, maka diperlukan pendampinga,” lanjutnya.

Dan terakhir, Netty mengatakan, anggaran untuk pelatihan dirasa cukup besar, yakni Rp20 triliun. Padahal pemerintah sedang dihadapkan pandemi yang membutuhkan uang banyak.

“Padahal dari total 405,1 T APBN hanya 7,5 T yang dialokasikan untuk menangani pandemi ini. Itu pun kita sering mendapat informasi tentang minimnya APD dan lain-lain,” tandasnya.

“Kami ga bisa komunikasi dan ga bisa mengawasi secara langsung karena ga bermitra dengan leading sektornya, Kemenko Perekonomian. Itu yang menjadi kekhawatiran dan ganjalan bagi kami,” ungkap Netty.

Sementara itu, Guru Sejarah Aji Tri Wikongko merasa program ini sekadar membuang-buang anggaran. Terlebih bila pelatihan sebatas lewat online.

“Kita bisa berdayakan layanan gratis, misalnya YouTube, untuk memperdalam kemampuan untuk menambah kompetensi. Kenapa pmerintah ga menciptakan ruang virtual untuk belajar. Kalau bisa yang gratis, yang bisa diakses semua orang. Jadi jangkauannya lebih luas,” katanya. Ia mengaku terkejut ketika Ruangguru menyuguhkan pelatihan pembuatan Power Point dengan biaya Rp100.000,-.

Aji menekankan bahwa masyarakat yang terdampak pandemi lebih membutuhkan kebutuhan sandang. “Dalam kondisi seperti ini, pemerintah seharusnya lebih sensitif lagi. Mana yang diprioritaskan, masyarakat umum atau perusahaan digital?” pungkasnya.

Sebagai guru, ia menyadari bahwa profesi ini juga termasuk kelas yang rawan secara ekonomi. Namun, nasibnya kerap kali diabaikan. “Bahkan di Jakarta, di masa pandemi ini guru-guru ada yang dipotong upah dan tunjangannya. Ada pula yang tidak diberikan. Padahal mereka tetap melaksanakan tugasnya dari rumah. Kemudian banyak sekali sekolah yang gagal menggaji guru,” ucapnya.

“Kalau ditanya terkait penerapan Program Kartu Prakerja di masa pandemi ini, menurut saya, posisinya sangat tidak tepat,” kata Aji.

“Kita coba baca kembali pembukaan UUD 1945 itu, setiap sekolah itu pas upacara pasti dibacakan. Ada hal yang harus diutamakan, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, kemudian kesejahteraan umum, lalu mencerdaskan keidupan bangsa. Kalau kita lihat kondisi seperti ini, dalam bencana kesehatan, ada Rp400-an T APBN mestinya dominan dialokasikan untuk penanganan pandemi. Namun, ternyata hanya Rp70 T. Sisanya itu lebih mengarah ke pengembangan ekonomi,” tutupnya.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  7  =