Oleh: M.S. Ridho*
Channel9.id-Jakarta. Gebrakan Jend. (Purn.) Fachrul Razi, Menteri Agama RI, yang menyatakan melarang penggunaan cadar bagi perempuan dan celana cingkrang bagi laki-laki, tak pelak lagi menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Lebih-lebih secara tersirat bagi publik pernyataanya dianggap bahwa cadar dan celana cingkrang adalah radikalisme yang ujungnya mengarah pada terorisme.
Ketidaksetujuan pun mengemuka di ruang-ruang publik maupun media sosial. Kiasan cadar dan celana cingkrang sebagai radikal-teroris ini yang membuat sebagian kecil meradang atas pernyataan Menteri Agama RI. Diantaranya: Farid Wajdi, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan tegas menyatakan: “Jika Pak Menteri (Fachrul Razi) menganggap orang yang pakai cadar itu penganut paham radikal, banyak sekali para teroris yang memakai celana jeans. Jadi itu tidak ada korelasinya dengan pakaian”. Hal senada disampaikan oleh Ahmad Fathul Bahri, Juru Bicara PKS, “Mungkin celana cingkrang sekarang bukan diidentikkan dengan orang-orang yang punya pilihan agama sendiri, pilihan-pilihan perbedaan itu, tapi bahkan jadi gaya gaul anak sekarang juga”.
Pernyataan setali tiga uang dilontarkan oleh Andre Rosiade, politisi partai Gerindra: “Pak Menteri Agama, saya anggota DPR RI, celana saya cingkrang, saya berjenggot. Istri saya jilbabnya panjang. Kami sering ikut pengajian. Tapi kami tidak radikal…” Ketidaksetujuan juga dinyatakan oleh anggota DPD RI dari DKI Jakarta, Fahira Idris, ia berpendapat: “Daripada mengurusi soal cadar atau celana cingkrang, Pak Menag saya sarankan gunakan kewenangannya sebagai ‘penjaga umat beragama’ untuk mematikan RUU Miras yang sejak periode lalu dibahas pemerintah dan DPR segera dirampungkan”.
Beberapa pendapat ketidaksetujuan atas pernyataan menteri agama merupakan hal lumrah dan biasa di ranah demokrasi. Tidak semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu akan disetujui oleh seluruh komponen masyarakat, apalagi dapat memuaskan hingga 100% keinginan publik, hampir mustahil dilakukan, selalu terdapat pro-kontra terhadap sebuah kebijakan. Tinggal bagaimana respon atas reaksi publik, tidak perlu juga pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, kebakaran jenggot, tanggapi saja sekadarnya dengan mengajukan argumentasi-argumentasi berdasarkan kajian ilmiah dan data di lapangan.
Cadar dan Keamanan
Penggunaan cadar dan celana cingkrang oleh sebagian kecil kelompok Islam dianggap sebagai cara hidup berislam yang kaffah, sebagai manifestasi menjalankan sunnah Nabi Muhammad SAW. Namun jika dicermati secara detail, di dalam doktrin Islam pada dasarnya tidak cukup memiliki dasar yang kuat baik dari al-Quran maupun hadis nabi. Kalaupun ada di dalam hadis nabi, itu pun sangat terbuka atas berbagai tafsiran para ahli.
Salah satu dasar yang dikemukakan oleh Menteri Agama RI, yakni permasalahan keamanan, terutama terkait peristiwa mutakhir yakni penusukan SA terhadap Menkopolhukan Jend. (Purn.) Wiranto satu bulan lalu, yang sampai saat ini masih memerlukan perawatan intensif oleh dokter. Berdasarkan keterangan dari Polri, SA, pelaku penusukan Menko Polhukam Wiranto takut dan stres karena perekrutnya AZ, telah tertangkap polisi. AZ merupakan Amir atau Ketua dari JAD Bekasi yang ditangkap pada 23 September 2019.
AS dalam hal ini memang tidak terafiliasi secara langsung dengan JAD Bekasi pimpinan AZ, akan tetapi SA pernah satu kali berkomunikasi dengan AZ melalui media sosial. SA dan FA bahkan dinikahkan oleh AZ sebelum kemudian pergi dan bermukim di Kampung Menes, Pandeglang, Banten (kompas.com, 13/10/2019).
Menilik pada penyelidikan Polri atas aksi brutal AZ dibantu FA terhadap Wiranto, hal ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal-teroris itu sungguh ancaman nyata yang bukan bualan semata. Hanya seringkali masih saja terdapat orang yang menilai terjadi konspirasi dan menyatakan peristiwa tersebut merupakan desain (settingan). Alangkah naifnya cara berpikir demikian, yang menganggap aksi berdampak fatal berujung kematian tersebut adalah desain.
Bahkan Al-Chaidar, pengamat terorisme menyatakan jaringan teroris yang berafiliasi dengan ISIS masih kokoh dan hendak menyampaikan pesan kepada publik bahwa siapapun yang tidak tunduk pada mereka akan merasakan dampak yang mengerikan.
Berdasarkan peristiwa tersebut, Menteri Agama RI, sebagai pengelola negara hendak memastikan rasa aman dan nyaman bagi warganya, tanpa terkecuali, apalagi di lingkup kantor-kantor pemerintahan. Rasa aman dan nyaman merupakan bagian dari hak asasi manusia, yang juga dijamin oleh UUD, dalam pasal 28G: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Begitu pula penggunaan cadar memang bagian dari hak asasi yang perlu dilindungi, akan tetapi sekiranya hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kejahatan, maka di dalam ushul fiqh terdapat adagium: “Menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’ul mafâsid muqoddam ‘alâ jalbil masholih).
John Rawls, filosuf, penulis teori keadilan berpendapat “Argumen publik itu bersifat trans-subyektif” maka apa pun yang berasal dari agama tak boleh diistimewakan hanya karena ia berasal dari wahyu. Ia hanya dapat diterima setelah terbukti dapat dibela oleh penalaran publik. Hukum agama (agar ia bisa dibela dan dipraktikkan secara publik) harus terbukti memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut “nalar publik”. Kepada musuh-musuh mereka, kalangan agamawan yang hendak mem-”publik”kan agama mereka harus melakukan persuasi, bukan koersi.
Jadi dalam konteks kebangsaan, sebagai negara yang tidak berpaham agama apa pun, maka yang dijadikan dasar bernegara adalah kemaslahatan publik bersama. Bukan didasarkan pada satu agama tertentu. Demikian pula soal penggunaan cadar maupun celana cingkrang, ia memang bukan penanda terorisme, hanya sekiranya aspek ketidakmanfaatannya lebih dominan maka seyogyanya ia tidak perlu digunakan, terlebih di ruang-ruang kantor pemerintahan yang mestinya bebas dari atribut agama tertentu.
Intelektual Muhammadiyah dan pengamat keamanan publik*