Rudi Andries, Cek Kosong Tambang
Opini

Cek Kosong Tambang

Oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Sumber daya alam mineral dan batubara adalah harta karun bangsa. Ia bukan sekadar bijih nikel, emas, atau batubara yang diperdagangkan, melainkan fondasi ekonomi yang bisa menentukan arah sejarah Indonesia. Konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945 sudah sangat jelas: bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, dalam praktik sehari-hari, pasal itu seolah hanya jadi mantra yang diulang tanpa pernah sungguh dihidupi.

Selama ini, tata kelola izin usaha pertambangan (IUP) berjalan seperti negara memberi “cek kosong” kepada swasta. Skemanya sederhana, sekaligus menyakitkan. Perusahaan tambang mengeluarkan modal sendiri untuk eksplorasi, menemukan cadangan, lalu melantai di bursa saham untuk meraup dana segar. Nilai cadangan—yang sesungguhnya adalah kekayaan negara—langsung diperdagangkan di pasar modal global. Sementara negara baru kebagian royalti ketika bijih diangkut keluar dari perut bumi. Itupun sering bocor, terserap dalam praktik penggelapan dan tata kelola yang lemah.

Skema ini pada dasarnya adalah pengkhianatan konstitusi. Negara kehilangan kendali atas data cadangan, kehilangan potensi monetisasi sejak awal, dan akhirnya hanya menerima “remah” dari kekayaan yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat. Tidak heran jika kemiskinan tetap menggurita di daerah tambang, sementara segelintir korporasi mencatat keuntungan fantastis di laporan keuangannya.

Memang, ada upaya koreksi. Revisi UU Minerba 2025, misalnya, mulai berani mencabut ratusan IUP bermasalah. Tapi langkah ini belum menyentuh akar persoalan. Selama negara tidak lebih dulu tahu berapa nilai harta karun yang ia miliki, kendali sejatinya tetap berada di tangan swasta. Negara bagaikan tuan rumah yang tidak pernah tahu isi gudangnya sendiri, membiarkan orang lain menghitung, mematok harga, bahkan menjualnya di depan mata.

Di sinilah reformasi tata kelola minerba menjadi mutlak. Paradigmanya harus dibalik: negara terlebih dahulu melakukan eksplorasi, menghitung nilai cadangan dengan standar global yang kredibel, baru kemudian membuka ruang monetisasi. Badan Industri Mineral (BIM) yang baru dibentuk, bersama MIND ID sebagai holding BUMN tambang, mestinya menjadi “otak” sekaligus “lengan” negara dalam proses ini. Mereka yang memetakan cadangan, memastikan valuasi berbasis standar JORC, lalu memutuskan apakah akan menambang langsung, melelang kontraktor, atau menyekuritisasi cadangan menjadi obligasi negara.

Skema ini memberi dua keuntungan sekaligus. Pertama, negara tidak lagi kecolongan karena data cadangan dikuasai penuh sejak awal. Kedua, monetisasi bisa dilakukan tanpa harus menambang secara brutal. Cadangan yang sudah terukur dapat dijadikan jaminan untuk obligasi atau sukuk, dana segar mengalir ke kas negara, pembangunan infrastruktur bisa dibiayai, sementara cadangan mineral tetap aman di dalam bumi. Dengan begitu, negara bukan hanya jadi penonton yang menunggu royalti, tetapi pemain utama yang mengendalikan jalannya permainan.

Namun, reformasi tidak berhenti di meja teknokrasi. Ia harus disertai dengan keberanian politik: moratorium penerbitan IUP baru. Selama dua hingga tiga tahun, negara sebaiknya menghentikan pemberian izin baru, sambil mengevaluasi ribuan IUP existing yang tumpang tindih dan rawan manipulasi. Fokusnya bukan memperbanyak izin, melainkan merapikan rumah sendiri. Menghentikan tambang ilegal yang merajalela, membenahi mekanisme pengawasan, dan memastikan redistribusi hasil tambang sampai ke rakyat di daerah penghasil.

Transparansi adalah syarat mutlak. Publik harus bisa mengakses data cadangan melalui dashboard daring, audit harus dilakukan secara independen oleh BPK dan KPK, dan masyarakat adat di sekitar tambang mesti dilibatkan. Tanpa itu, reformasi hanya akan jadi jargon baru yang menutupi praktik lama.

Presiden Prabowo punya kesempatan meninggalkan warisan besar di bidang ini. Jika ia berani menjalankan model “eksplorasi negara–monetisasi berdaulat”, sejarah bisa mencatatnya sebagai presiden yang mengembalikan kedaulatan mineral ke tangan rakyat. Penerimaan negara akan melonjak, ketergantungan pada asing bisa berkurang, dan cita-cita masyarakat adil makmur bukan lagi sekadar slogan di spanduk perayaan.

Harta karun itu nyata, terkubur di tanah dan bebatuan negeri ini. Pertanyaannya, apakah ia akan terus berubah menjadi “cek kosong” yang diteken negara untuk keuntungan segelintir pihak? Atau akan sungguh dikelola untuk kemakmuran bersama, sebagaimana pesan luhur konstitusi?

*Wakil Ketua Umum DNIKS

Baca juga: Piring Kecil, Harapan Besar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  2  =