Yana Priyatna
Mahasiswa S3 UNUSIA Jakarta
Channel8.id, Jakarta – Bagi umat Islam di Indonesia, menunaikan ibadah haji merupakan puncak dari seluruh rangkaian ibadah. Selain sebagai rukun Islam kelima, tidak semua umat Islam Indonesia dapat menunaikannya karena berbagai persyaratan yang tidak mudah dipenuhi, terutama persoalan biaya yang sangat besar. Ibadah haji menjadi tradisi ibadah yang istimewa bagi umat Islam Indonesia.
Menunaikan ibadah haji adalah perintah Allah SWT. Kerinduan kepada Tanah Suci Mekkah dan Madinah, Ka’bah, serta Rasulullah SAW menjadi motivasi utama umat Islam Indonesia untuk berhaji. Dorongan spiritual ini kerap membuat mereka memaksakan diri untuk berangkat ke Tanah Suci, meskipun tidak memiliki bekal dan persiapan yang memadai.
Karena keistimewaannya, umat Islam Indonesia sejak dahulu sangat bersungguh-sungguh mengupayakan keberangkatan haji. Mereka rela mengumpulkan uang recehan selama bertahun-tahun demi mewujudkan impian tersebut. Kota Mekkah dan Madinah, yang diyakini sebagai tempat paling suci oleh umat Islam di seluruh dunia, menjadi tujuan utama—tak hanya bagi kaum kaya, tetapi juga kaum miskin.
Namun, keinginan yang begitu besar itu terkadang menjadi bumerang. Tidak sedikit warga Indonesia yang nekat berangkat haji melalui jalur ilegal tanpa bekal dan biaya yang cukup. Contohnya adalah peristiwa tragis pada Selasa, 27 Mei 2025, ketika tiga warga negara Indonesia ditemukan aparat keamanan dalam kondisi dehidrasi di wilayah gurun Jummun, Mekkah. Salah satu di antaranya, berinisial SM, ditemukan dalam keadaan meninggal dunia (Channel9.id, 2 Juni 2025).
Bagi mereka yang memiliki kecukupan dana, biaya besar tidak menjadi halangan. Kesempatan ini menjadi celah bisnis bagi sejumlah penyedia jasa perjalanan haji non-pemerintah. Salah satunya adalah program Haji Furoda yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Haji Furoda berbeda dengan haji reguler karena menggunakan visa undangan (mujamalah) dari Kerajaan Arab Saudi, bukan kuota resmi pemerintah Indonesia.
Karena visanya bersifat khusus, biaya haji Furoda pun jauh lebih mahal. Untuk mendaftar, calon jemaah harus membayar deposit sebesar 15.000 dolar AS atau sekitar Rp245 juta. Beberapa agen bahkan menawarkan layanan tenda VIP dengan harga antara 28.000 hingga 30.000 dolar AS (sekitar Rp453 juta hingga Rp485 juta) per orang (Kompas.com, 4 Juni 2025). Sebagai perbandingan, biaya haji reguler hanya sekitar Rp55 juta.
Kasus-kasus penipuan haji Furoda kerap terjadi. Pada 2023, misalnya, seorang direktur PT Musafir Internasional Indonesia dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan penipuan jemaah. Laporan ini berasal dari pasangan suami-istri berinisial TBS dan GS, yang telah melapor melalui registrasi Nomor: LP/B/5826/IX/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA, tertanggal 29 September 2023.
Maraknya kasus serupa menunjukkan bahwa meningkatnya minat haji dan umrah dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan nakal untuk mencari keuntungan secara tidak sah. Salah satu kasus paling mencengangkan adalah skandal First Travel pada 2017, yang menipu 63.310 calon jemaah dengan kerugian mencapai Rp905 miliar. Modusnya adalah menawarkan paket umrah murah seharga Rp14 juta.
Para pelaku First Travel, termasuk pemilik dan direktur utama Andika, divonis 20 tahun penjara, sementara istrinya Anniesa Hasibuan divonis 18 tahun dan didenda Rp10 miliar. Direktur keuangan, Siti Nuraida Hasibuan, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Penipuan serupa juga terjadi pada PT Amanah Bersama Umat Tours (Abu Tours) pada 2018, dengan 86 ribu korban dan kerugian Rp1,8 triliun. Kemudian menyusul kasus PT Solusi Balad Lumampah (12.645 korban) dan PT Hanien Tour (58.862 korban).
Laporan Ombudsman pada 2018 mengungkap bahwa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi penyebab berulangnya kasus-kasus ini. Bahkan, ditemukan bahwa beberapa travel tetap diberi izin memberangkatkan jemaah secara ilegal meski izinnya telah dicabut, dengan tambahan biaya kepada jemaah.
Eksploitasi Jemaah Haji pada Masa Kolonial Belanda
Eksploitasi terhadap jemaah haji Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa kolonial Belanda, jemaah haji telah menjadi korban praktik curang perusahaan-perusahaan penyedia jasa haji. Salah satu kisah yang tercatat adalah keberadaan Firma Al-Segaff, sebuah perusahaan travel haji milik Sayid Muhammad bin Ahmad Al-Segaff yang berkantor pusat di Singapura pada akhir abad ke-19 (Madjid, 2008: 9).
Firma ini menjadi agen perjalanan haji terkemuka di Hindia Belanda, Singapura, dan Malaysia. Sayid Muhammad bukan hanya pengusaha travel, tetapi juga tuan tanah pemilik perkebunan karet di Pulau Cocob, Johor, Malaysia.
Firma Al-Segaff mengeksploitasi jemaah asal Nusantara (Hindia Belanda) yang kehabisan bekal saat hendak kembali dari Mekkah. Berdasarkan buku Naik Haji di Masa Silam karya Henry Chamber-Loir, para jemaah haji kerap terlantar di Mekkah karena kekurangan biaya untuk pulang (CBN Indonesia, 5 Juni 2025).
Dalam kondisi tersebut, Firma Al-Segaff menawarkan bantuan pemulangan dengan syarat para jemaah menandatangani kontrak kerja di perkebunannya. Setiba di Singapura, mereka langsung dikirim ke perkebunan Cocob dan dipekerjakan sebagai buruh hingga hutangnya lunas. Gaji bulanan mereka dipotong untuk membayar utang perjalanan dari Jeddah ke Jawa.
Standar upah buruh di koloni Inggris saat itu adalah $5 (Dolar Singapura), namun para buruh kontrak dari kalangan jemaah hanya menerima $2 setelah dipotong dari gaji $4,5. Eksploitasi ini berlangsung antara lima hingga sepuluh tahun, diiringi dengan tindakan kekerasan oleh agen Firma Al-Segaff.
Kasus ini bahkan membuat Konsul Belanda di Singapura mengirim surat No. 914 pada 22 Desember 1885 kepada Gubernur Jenderal di Batavia, meminta agar keberangkatan jemaah haji melalui Singapura dihentikan hingga ada jaminan perlindungan terhadap jemaah.
Pada dekade 1850–1880-an, jumlah jemaah haji Nusantara terus meningkat dari 1.600 orang menjadi lebih dari 4.600 orang. Bagi yang cukup biaya, mereka bisa langsung pulang atau meneruskan ke Mekkah. Namun yang tak mampu melunasi utang, terpaksa bekerja sebagai buruh kontrak. Mereka dikenal sebagai “Haji Singapura”.
Meskipun sempat ditegur oleh otoritas Hindia Belanda, Firma Al-Segaff tetap menjalankan praktik eksploitatif. Bahkan mereka mengklaim bahwa para jemaah telah menyetujui kontrak kerja secara sah. Belakangan, ketika upah buruh mulai menurun akibat limpahan tenaga kerja dari Jawa, Firma mulai mengurangi perekrutan jemaah sebagai buruh. Namun praktik meraup keuntungan dari selisih biaya tiket dan pinjaman jemaah tetap berlangsung.