Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Gempa megatrust telah menjadi bayang-bayang ancaman bagi manusia. Kita simak BMKG kembali mengingatkan ancaman gempa berkekuatan besar dan berpotensi tsunami yang tersimpan di zona gempa megathrust (seismic gap) untuk wilayah Indonesia. Namun, kapan energi tersebut akan terlepas belum bisa dipastikan dan hingga saat ini belum ada teknologi apapun yang bisa memprediksi kapan terjadinya.
Hidup manusia yang kini termanjakan oleh tehnologi tinggi ternyata juga berada ‘diujung tanduk’. Mau kemana bila gempa megatrust benar-benar terjadi, sementara sekeliling kehidupan manusia (lebenswelt) sudah dipenuhi oleh ‘peradaban tembok’ dimana-mana. Lingkungan (umwelt) sudah dirimbuni oleh ‘dunia artifisial’ produk ciptaan manusia. Filsuf Spanyol, Ortega Y Gasset dalam bukunya Man And Crisis (1956), jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa manusia telah ‘ditaklukkan’ oleh hasil karya ciptanya sendiri.
Di sebelah lain, manusia begitu optimis menatap masa depan kehidupannya. Modernisasi yang dihela sepanjang sejarah terbukti telah memberikan kenyamanan hidup manusia. Dari kehidupan primitif yang ‘menyembah’ alam, hingga manusia berhasil ‘menaklukkan’ alam, menorehkan kuasa manusia untuk melajukan kekuatan rasio demi kemajuan.
Homo Sapiens telah mengalami loncatan evolusi, demikian yang ada dibenak Yuval Noah Harrari. Sebab yang tak terbantah, kognisi manusia bergerak tiada batas. Dengan kekuatan tehnologi, manusia telah berhasil menyingkap misteri kehidupan dan lalu memanfaatkan untuk kepentingan praktis. Inilah ‘homo deus’, sosok manusia masa depan yang mampu menciptakan tehnologi tingkat dewa seperti rekayasa genetik dan kecerdasan buatan. Dan untuk itu, manusia masa depan ‘hanya’ milik ‘homo deva’, mereka yang bekerja kreatif dan inovatif demi ‘penaklukan’.
Benar, siapa abai bahwa dunia saat ini seakan tanpa batas karena manusia dan barang dapat bergerak dengan mudahnya dari negara yang satu ke negara yang lain. Hadirnya tehnologi informasi telah melahirkan revolusi yang merubah peradaban. Orang cukup ngeklik ponsel bertehnologi android akan tersingkap semua informasi dan pengetahuan. Ya, manusia sekarang–pinjam ungkapan Sherry Turkle—life on the screen, hidup cukup berada di depan layar, apapun isi dunia sudah terengkuh.
Namun kecemasan tetap membayangi terjadinya gempa megatrust dan seiring pula kerisauan terhadap terorisme yang terus bermetamorfosa. Akankah dalam ayunan kemanjaan tehnologi, terorisme justru kian meranggas dan mengganas.
Kecemasan Mondial
Seperti sebuah koin, globalisasi tidak hanya memiliki wajah menawan tetapi juga sekaligus mempunyai wajah mengerikan. Sebab kemudahan yang ditawarkan globalisasi justru semakin memfasilitasi kegiatan ilegal yang terjadi dengan melintasi batas-batas yuridiksi negara. Akibatnya, kegiatan ilegal yang semula hanya dianggap sebagai tindak kriminal biasa kini dianggap sebagai kegiatan yang mengancam keamanan (security) suatu negara. Dan ancaman yang lahir akibat globalisasi diantaranya adalah terorisme. Inilah yang disebut ancaman non-tradisional (non-conventional threats).
Terorisme telah ada bersama kita selama berabad-abad, dan itu selalu menarik perhatian berlebihan karena karakternya yang dramatis dan kejadiannya yang tiba-tiba, seringkali sepenuhnya tidak terduga. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, senjata-senjata kekuatan destruktif yang sangat besar dapat diperoleh dengan mudah dan lebih sulit untuk dilacak.
Di zaman baru ini, bahkan biaya ratusan jiwa mungkin tampak kecil. Sains dan teknologi telah membuat kemajuan besar, tetapi sifat manusia, sayangnya tidak berubah. Ada banyak fanatisme dan kegilaan dimanapun berada, dan ada juga senjata pemusnah massal yang tersedia bagi teroris. Seorang ahli hukum internasional terkemuka, T. J. Lawrence pernah menulis bahwa upaya yang dilakukan untuk ”mencegah penggunaan instrumen yang menyebabkan kehancuran dalam skala besar pasti akan gagal. Manusia selalu meningkatkan persenjataannya, dan akan selalu selama dia membutuhkannya”.
Terorisme terus mengalami transformasi dalam organisasi, metode dan targetnya. Pada mulanya, kelompok-kelompok teroris bekerja sendirian beraksi dalam batas wilayah negara masing masing. Namun, pada tahun 1970-an, mereka mengembangkan kerjasama yang meliputi pertukaran intelijen, pusat pelatihan termasuk instruktur, memasok perlengkapan operasional, sampai pada menentukan sasaran operasi bersama. Yang dimaksud dengan kerja sama operasi adalah bukan dalam bentuk joint operation, tetapi pada obyek atau sasaran yang ingin dicapai.
Di era tahun 1990-an, kelompok-kelompok teror lebih merupakan sel-sel yang menyebar dan relatif otonom ketimbang suatu organisasi yang disiplin dan garis komando yang jelas. Sama seperti bisnis korporasi multinasional yang memanfaatkan tehnologi informasi, Al-Qaeda misalnya mirip perusahaan franchise. Sel-sel lokal memetakan lokasi sasaran, menyediakan tenaga dan bahan peledak, sementara Al-Qaeda mengirim tehnisinya untuk memberikan pelatihan dan melakukan eksekusi (John Arquilla, 2000).
Serangan 11 September 2001 secara drastis telah mengubah wajah terorisme. Sejak saat itu, aksi terorisme lebih dimotivasi oleh dorongan ideologi dan agama. Kelompok teroris jenis ini seringkali membenarkan perbuatan mereka dengan menggunakan ayat-ayat dari Kitab Suci. Situasi ini muncul terutama ketika pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden menyerukan perang antara umat Islam dengan Israel, Amerika dan negara-negara sekutunya, di dalam fatwanya tahun 1996 dan 1998.
Ancaman terorisme global menyingkapkan sebuah ‘militansi global’ yang tak henti-hentinya mewariskan generasi teror. Paul Berman (2012)—menulis tentang “The Philosopher of Islamic Terror” menyatakan bahwa yang jauh lebih dahsyat dari Al Qaedah adalah ideologi di balik organisasi itu yang diluncurkan oleh Sayyid Quthub. Quthub mencita-citakan suatu Pan Islamica untuk seluruh dunia dengan khalifah Islam sebagai penguasa politik dunia memulihkan kembali kebesaran imperium Ottoman yang bertahta di Turki. Menurutnya, Amerika akan menderita kekalahan dalam perang ideologi melawan pengikut Sayyid Quthub, karena Amerika hanya mengandalkan kekuatan militer dan sama sekali tidak memiliki kekuatan spiritual atau filosofi serta pengikut yang rela mati untuk pandangan hidup Amerika. Hal ini terbukti dari ‘banyaknya’ pendemo anti perang yang justru muncul di Amerika dan Eropa. Orang Amerika sudah manja kenikmatan dunia fana dan takut perang, takut sakit, takut menderita dan takut mati.
Sedangkan kelompok Al Qaedah yang terus mengilhami generasi jihad dan Sayyid Quthub mempunyai filsafat berani mati, syahid untuk menegakkan cita-cita mereka. Sayyid Quthub sendiri telah mewariskan 15 jilid buku setara ensiklopedi berjudul Fi Dzilal Al-Quran (In The Shade of The Quran) yang menurut Paul Berman sebobot dengan Das Kapital-nya Karl Marx. Gagasan radikal inilah yang akan terus mendunia untuk menebarkan pesan-pesan teror demi menegakkan cita-cita yang utopis.
Dan kini,–seperti diungkapkan oleh Gary R Bunt (2005)–jaringan teroris bukan lagi mata rantai terpenting dalam kaitan dengan transformasi politik komunitas muslim di seluruh dunia, melainkan jaringan intelektual dan pertukaran idiologi melalui media internet. Mata rantai itu berada di garis depan dalam proses perubahan pandangan dunia kaum muslim yang setidaknya memberi landasan politik yang nyata yang tidak lagi bergantung pada asumsi-asumsi akademis sekuler yang lahir dari bangsa-bangsa Barat. Sejumlah peristiwa terorisme menunjukkan adanya mata rantai antara kelompok dari dalam dan luar negeri. Seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah dan ISIS yang terdeteksi telah meracuni cara berpikir sebagian masyarakat.
Terorisme Masa Depan
Karl Heinzen dan Johan Most adalah contoh dua sosok peletak dasar filosofis dari kaum radikal dan teoritikus terorisme yang memelopori penggunaan senjata-senjata pemusnah massal dalam kegiatan terorisme secara sistematis. Keduanya percaya bahwa pembunuhan adalah sebuah kebutuhan politis. Sebegitulah, maka ada kepercayaan bahwa pengetahuan dan tehnologi telah memberi terorisme sebuah keuntungan besar melalui sarana-sarana dan senjata moderen. Kunci untuk revolusi bagi keduanya adalah dengan mengembangkan penggunaan tehnologi senjata-senjata semacam roket, gas beracun dan ranjau darat yang dalam satu hari dapat menghancurkan seluruh kota. Heinzen bahkan yakin bahwa kemerdekaan dimanapun tidak akan terwujud tanpa penggunaan racun dan bahan peledak.
Bagaimana ke depan geliat terorisme? Walter Laqueur dalam The New Terrorism (1999) menerka model terorisme mendatang. Pertama sekali kita saksikan apa yang disebut terorisme nuklir (nucleur terrorism). Terorisme nuklir adalah ancaman yang berbeda, dan akan tetap satu jauh ke masa depan. Ada banyak sekali materi yang sangat bermanfaat yang tidak diketahui, terutama dari bekas Uni Soviet, yang sekarang diselundupkan dari satu negara ke negara lain. Jumlah material yang dibutuhkan untuk membuat bom tidak besar; lima belas pon plutonium yang diperkaya atau tiga puluh ponuranium yang diperkaya akan cukup untuk pembangunan senjata nuklir yang cukup besar. Untuk melakukan ini, tidak perlu mempekerjakan insinyur nuklir yang berkualitas tinggi; itu bisa dilakukan oleh mahasiswa tingkat lanjut di lapangan berdasarkan informasi yang tersedia.
Ada pula senjata biologi dan kimia (biological and chemical weapons). Pada 1990-an, keyakinan bahwa senjata biologi dan kimia mungkin merupakan bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia, dan merupakan yang paling terabaikan. Ada tanda-tanda peringatan sebelumnya. Pada tahun 1972, perjanjian senjata biologis dan beracun ditandatangani, dan banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Rusia telah dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi memproduksi senjata semacam itu dan akan menghancurkan persenjataan mereka. Penemuan sejumlah besar senjata semacam itu di Irak setelah Perang Teluk datang sebagai kejutan, terlebih lagi karena ada alasan untuk percaya bahwa hanya sebagian dari mereka yang telah ditemukan, dan bahwa lebih jauh lagi, Irak, serta negara-negara lainnya, termasuk Iran, sedang melanjutkan persiapan untuk perang biologi dan kimia dan berhasil menolak inspeksi.
Pada akhir abad ini, hanya sedikit negara yang akan memiliki kemampuan industri untuk memproduksi senjata nuklir secara massal, tetapi hampir semua negara dengan industri kimia dan farmasi dapat terlibat dalam produksi bahan biologi dan kimia. Jumlah negara yang diketahui atau dicurigai terlibat dalam pengejaran ini jauh lebih besar.
Dipercaya bahwa antara 30 dan 40 negara memiliki kapasitas untuk memproduksi senjata kimia dan biologi. Konsentrasi terbesar senjata yang ada saat ini adalah di Timur Tengah, termasuk tidak hanya Iran dan Iran, tetapi juga Suriah dan Libya.
Selanjutnya, teror yang tak kalah giris adalah Cyberterrorism. Karena cepatnya perubahan teknologi, mungkin tidak ada gunanya berspekulasi tentang peran revolusi elektronik di masa depan terorisme. Tak perlu dikatakan lagi bahwa penggunaan luas teknologi ini akan memiliki dampak yang luas untuk konflik antar negara, untuk kejahatan terorganisir, dan untuk teroris. Beberapa pengamat telah melihat tren kekuatan elektronik bermigrasi ke jaringan kecil, tetapi luas yang akan menggantikan organisasi hierarkis. Momok telah disulap dari jaringan hidrasi yang tidak mudah dipecahkan. Juga tidak seorang pun membayangkan bagaimana dalam kondisi ini kekuatan virtual akan diterjemahkan ke dalam kekuatan nyata. Para peretas yang disewa sering berbagi dengan para teroris atau separatis yang ingin merebut kekuasaan.
Kaum sektarian dapat menyebarkan pesan mereka di internet, sehingga menjangkau masyarakat yang lebih luas. Informasi tentang cara membuat bom dan senjata pemusnah massal sekarang hanya berjarak satu klik di internet, meskipun bahan ini tidak jauh berbeda dari buku panduan bom yang ada di abad lalu. Di masa depan, aksi teroris yang ditujukan untuk teknologi informasi akan terus merusak, tetapi pada tingkat primitif. Masyarakat menjadi jauh lebih rentan. Komputer dan layanan yang bergantung padanya sangat rentan. Mereka dapat lumpuh melalui virus, worm, bom logika, dan spychips.
Keahlian teknis untuk menghasilkan dan mendistribusikan virus dan senjata perusak lainnya kini tersebar luas, dan bahkan akan lebih populer di kalangan teroris atau hanya di antara para hacker anarchists yang ingin bersenang-senang dan menciptakan jumlah kerusakan maksimum. Kekacauan juga dapat dicapai melalui sarana yang jauh lebih mendasar. Beberapa switch yang dilempar ke tempat strategis, pukulan yang sedikit lebih keras, atau granat tangan bisa memiliki efek yang lebih dramatis.
Mungkin yang dilupakan oleh masyarakat dunia adalah mesin gempa bumi dan sinar kematian. Salah jika menganggap bahwa pencarian tidak akan dilanjutkan di tempat lain di masa mendatang. Bagaimana jika gempa Lisbon (1755), Krakatau (1883), atau Kobe (1995) dapat diulang dalam skala yang lebih besar? Kerak bumi harus ditembus oleh ‘sinar gempa’ ‘atau dengan membangun sebuah meteor artifisial yang digunakan untuk membombardir bumi. Orang seperti apa yang ingin menemukan senjata semacam itu, dengan tujuan menghancurkan kehidupan di bumi?
Neonihilis ini berbeda dari teroris tradisional selama 150 tahun terakhir, dan dari sebagian besar generasi teroris baru. Para idealis gila yang percaya bahwa harus ada pemusnahan raksasa sebelum regenerasi umat manusia. dapat terjadi. Di dunia bahaya teroris yang nyata, mengapa bahkan menganggap orang gila didorong oleh fantasi apokaliptik? Mungkin karena garis psikologis antara mereka dan teroris begitu tipis, dan karena sekarang teknologi pemusnah massal ada. Mungkin ada sangat sedikit individu baik dengan motif dan kompetensi untuk memerankan fantasi-fantasi ini. Namun ada sedikit keraguan bahwa individu semacam itu ada dan akan ada di masa depan.
Tidak pernah ada ‘‘terorisme adil’, doktrin yang analog dengan gagasan ‘‘perang yang adil’. Beberapa kampanye teroris yang terjadi hanya ditujukan untuk tujuan yang adil, dengan aturan-aturan pengelolaan yang dipaksakan sendiri, melawan penindas dan tirani. Tapi gagasan ini terjadi pada periode dimana tindakan teroris diarahkan terhadap individu yang dianggap bersalah secara pribadi karena satu alasan atau yang lain. Sejak saat itu, terorisme telah berkembang dari peperangan yang terbatas menjadi total dan tidak pandang bulu, tentu sejauh menyangkut target, cukup sering tujuannya hanya untuk membunuh atau melukai sebanyak mungkin orang. Untuk beberapa kelompok teroris, kampanye telah menjadi total berkaitan dengan tidak hanya tindakan, tetapi juga tujuan. Ketika terorisme menjadi bahaya nyata, mereka yang terlibat di dalamnya tidak akan lagi dapat lari dan bersembunyi. Eskalasi semacam itu kini secara bertahap berlangsung di Timur Tengah, Afrika, dan Asia.
Pada hakikatnya perang adalah teror juga. Perbedaan antara perang dan teror tampak hanya sebatas prosedural. Yang pertama legal yang kedua ilegal. Pada faktanya sama saja, berupa pembantaian massal. Dan, karena pembantaian akan menimbulkan trauma dan dendam kesumat yang berkepanjangan, maka tampaknya, teror belum akan lenyap dari muka bumi. Inilah yang disebut Michael Novak sebagai ‘moralitas kekerasan’, mengibarkan panji-panji kekerasan pada gilirannya adalah membangkitkan kekerasan itu sendiri.
Filsuf Derrida pernah mewantikan bahwa serangan-serangan teror di masa mendatang yang didukung dengan kecanggihan tehnologi akan lebih ‘berwarna’ dan boleh jadi horor akan datang dalam situasi senyap, diam-diam, tak kasat mata akhirnya tak terbayangkan. Dalam ungkapan Diderot, peralihan dari fanatisme ke barbarisme hanyalah satu langkah, dan jika tren saat ini terus berlanjut, ada setiap alasan untuk ramalan suram. Apa yang terjadi tentang masa lalu barbarisme cukup menakutkan? Konsekuensi kegilaan agresif di era teknologi tinggi dan era senjata pemusnah massal mungkin berada di luar imajinasi kita.
Megaterorisme bisa menjadi apa yang Florus, sejarawan Romawi, tulis: faks et turbo sequentis centuri- obor pembakar dan badai dahsyat abad mendatang.
Penulis adalah Penggiat Literasi Eksnapiter Rumah Daulat Buku (Rudalku)