Channel9.id – Jakarta. Sejak dibentuk, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tak kunjung lepas dari berbagai masalah yang hingga kini masih membelenggunya, mulai dari masalah pengorganisasian, keuangan, hingga riset. Dengan demikian, wajar bila Komisi VII DPR yang memang melakukan fungsi pengawasan, mengeluarkan rekomendasi bahkan mendesak Kepala BRIN untuk segera diganti.
Seperti yang diungkapkan oleh peneliti tata kelola dan konflik di BRIN Poltak Partogi Nainggolan, bahwa permasalahan yang dihadapi lembaganya tersebut disebabkan karena kekosongan sosok pemimpin yang memiliki kapabilitas mumpuni.
“Apa yang membuat BRIN bermasalah? Ya itu, harus punya pemimpin yang punya kapabilitas baik. Menguasai manajemen organisasi, menguasai manajemen keuangan, dan menguasai manajemen riset,” ujarnya, Kamis (2/2), seperti dikutip dari Republika.
Selain kapabilitas, menurut Poltak, seorang kepala BRIN seharusnya dapat menyikapi Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dengan bijaksana. Sebab, melalui regulasi tersebut, peleburan beberapa lembaga menjadi BRIN adalah sebuah kesalahan karena mandat UU Sisnas Iptek itu adalah mengoordinasikan, bukan meleburkan.
“Harus punya visi itu siapa pun yang dipilih untuk itu. Di situ kan mandatnya sebetulnya mengoordinasikan, bukan mengintegrasikan atau melebur. Siapapun yang melebur itu, itu keputusan yang salah,” ujarnya.
Beberapa lembaga yang akhirnya dilebur ke dalam BRIN, lanjutnya, kini berjalan tidak maksimal dibanding sebelum dilebur. Ia memberikan contoh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang tadinya aktif menghasilkan riset-riset bagus tetapi kini ia sebut telah hancur.
“Bisa kita bandingkan satu hal saja. BPPT dulu punya Pak Habibie, orang sudah jalan, sudah bagus, hancur semua itu lihat. Juga yang lain-lainnya. Bikin drone, vaksin Merah Putih. Mana? Karena semuanya jadi setengah-setengah, tidak ada fokus,” terangnya.
Poltak juga menyoroti peleburan badan riset yang ada di lembaga legislatif dan juga yudikatif. Menurutnya, peleburan ini adalah salah karena masing-masing lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Salah satu dampaknya, lanjut Poltak, adalah semua pendapat tentang undang-undang akan pro pemerintah karena tidak adanya unsur ‘check and balances’ di tiap lembaga tersebut.
“Kalau mau berpikir efisiensi, tidak bisa main pukul rata seperti itu, yang tidak efisien diefisienkan. Misalnya unit-unit pemerintah yang tumpang tindih. Tapi yang punya DPR ataupun yang yudikatif, di bawah MK dan MA, itu tidak bisa. Itu harus mengikuti check and balances,” jelas dia.
Terkait masalah pengelolaan dana riset yang ia nilai ‘ngawur’, periset BRIN dipersulit ketika hendak melakukan riset dengan aturan yang justru dibuat lembaga itu sendiri. Menurut penuturannya, periset malah menggunakan kartu kredit untuk membayar keperluan risetnya.
Poltak sendiri mengalami hal tersebut ketika hendak meneliti Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. “Waktu saya riset IKN itu. Tidak bisa sampai semua. Yang tadinya tim ada tujuh orang tinggal dua orang saja yang jalan. Padahal kita harus mewawancarai banyak pihak. Itu pun dalam sehari karena sudah tidak mungkin lagi berhari-hari. Uangnya tidak cukup,” ungkapnya.
Keterbatasan tersebut pada akhirnya membuat hasil riset tak memiliki data yang cukup representatif. Padahal, sambungnya, periset dituntut untuk mempertanggungjawabkan riset-risetnya yang terbit di jurnal internasional.
“Jurnal internasional itu kan dia lihat metodologi. Kalau survei, berapa sampelnya. Kalau kecil-kecil tidak representatif dia lihat, istilahnya kacangan atau main-main, abal-abal, riset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, ia tidak paham itu,” kata Poltak.
Menurut pandangannya, terdapat perbedaan antara riset ilmu eksakta dengan riset ilmu sosial. Tetapi, baginya, kepala BRIN saat ini menganggap sama keduanya. Dasarnya karena riset untuk ilmu eksakta tidak memakan terlalu banyak biaya karena hanya berkutat di dalam laboratorium.
Sementara itu, kata Poltak, riset ilmu eksakta di BRIN juga memiliki masalahnya sendiri. “Itu (riset ilmu eksakta) pun bermasalah. Lab harus mengantre, kantor ditutup,” ungkapnya.
Terkait struktur organisasi, Poltak melihat adanya dewan pengarah yang saat ini dikooptasi partai politik, membuat independensi BRIN terganggu.
“Ada dewan pengarah. Buat apa? Lembaga BRIN harus independen. Apalagi dewan pengarah ini di bawah kooptasi partai politik. Bayangkan,” terang Poltak.
Jika sudah terkontaminasi politik, ditambah kapabilitas dan kapasitas pemimpin rendah, bagi Poltak, BRIN akan semakin kacau. “Tidak bisa lagi mau diberesin. Di satu sisi ditarik-tarik oleh partai politik, di sisi lain dia mau benahi tapi tidak punya kemampuan. Ini PR yang berat. Bisa dibayangkan yang terjadi apa? Kemunduran. Kalau dibiarkan kehancuran,” pungkasnya.
HT