Opini

Deradikalisasi Ushul Fikih

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Eks napiter sebagai sekumpulan orang yang pernah terlibat dalam tindak pidana terorisme dan kemudian dipenjara lalu bebas, memuncahkan persoalan tersendiri. Merubah perilaku mereka menjadi tantangan tersendiri dalam penanggulangan terorisme. Salah satu risiko yang sangat penting adalah keyakinan akan ideologi radikal yang tertanam sejak berada di jaringannya. Akibatnya, eks napiter menjadi rentan untuk kembali bergabung dengan kelompok teroris, hingga melakukan aksi serupa. Meski terdapat berbagai konsep dan program deradikalisasi terhadap eks napiter, masih terdapat sebagian dari mereka yang tetap berkomitmen pada jihadisme dan bahkan melakukan aksi teror kembali. Kasus Agus Sujatno atau Abu Muslim eksnapiter yang melakukan bom bunuh diri di Polsekta Astana Anyar Bandung lagi-lagi menunjukkan kerentanan eksnapiter.

Demikianlah, beberapa mantan jihadis telah “mati suri sementara” tetapi tetap rentan: Mereka hanya tidak terlibat karena alasan taktis atau praktis. Namun beberapa juga mulai melepaskan diri secara emosional. Meskipun mereka mungkin tidak sepenuhnya menampik penggunaan kekuatan. Perubahan kondisi pribadi mereka (terutama saat di penjara) telah mendorong penilaian ulang tujuan mereka sehingga mereka tidak lagi terlibat dalam aktivisme jihadis. Beberapa orang mengingkari hubungan dengan mantan rekan jihadis mereka. Namun orang-orang dalam kelompok besar ini masih mendukung tujuan jihadis atas dasar agama dan moral, dan menunjukkan bahwa mereka akan mengambil perjuangan lagi jika kondisi memungkinkan. Terutama jika diperintahkan untuk melakukannya oleh seseorang yang mereka yakini memiliki otoritas agama yang diperlukan.

Baca juga: PBNU Gagas Muktamar Internasional Fikih Peradaban Februari 2023

Baca juga: Deradikalisasi Cum Literasi

Residivis Teroris dan Watak Idiologis

Beberapa kasus eks napiter yang ‘kambuh’ lagi dan terlibat dalam terorisme, diantaranyai Sunakim dalam kasus Bom Thamrin yang tercatat pernah divonis penjara 7 tahun pada 2011 dan Isnaini Romdhoni dalam jaringan bom di gereja Surabaya yang sempat ditangkap pada tahun 2014. Sebelum-sebelumnya sudah cukup banyak terjadi eks napiter yang kembali melakukan amaliyat. Beberapa yang bisa dicontohkan sebelumnya diantaranya Dian Adi Prayitna, eks napiter jaringan Abu Roban yang sekeluar dari penjara beraksi kembali dengan memberikan senjata untuk serangan Thamrin 2016. Eks napiter Rohmat Puji Prabowo alias Bejo yang dihukum karena menyembunyikan Noordin M Top tahun kembali terlibat dalam Bom Marriot 2009. Iskandar alias Alexander Rumatray yang dihukum karena menyembunyikan DPO Kamaludin tahun 2013 kembali terlibat dalam penyembunyian Basri, dari kelompok Santosa tahun 2017. Urwah yang dihukum lantaran menyembunyikan Noordin M Top tahun 2004, sekeluar dari penjara berulah kembali dengan keterlibatannya pada kasus Bom Marriot 2009. Aer Setiawan yang dihukum karena menyembunyikan Noordin M Top tahun 2004, sekeluar dari penjara terlibat kembali dalam kasus Bom Marriot 2009. Dan juga, Aman Abdurrahman yang dihukum awal dalam kasus Bom Cimanggis 2005, tak jera kemudian kembali terlibat dalam pendanaan pelatihan Militer Jantho, Aceh 2010, Bom Thamrin 2016, dan serangan kelompok Jamaah Anshorud Daulah (JAD), hingga akhirnya divonis hukuman mati.

Paska terbongkarnya pelatihan militer teroris di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar pada tahun 2010, pola jejaring kelompok radikal berubah. Sekali waktu bergabung, namun ketika tekanan meningkat, memecah diri menjadi sel-sel jihad. Lalu kembali berkoalisi jika ada kesmepatan. Beberapa sel teror yang pelakunya sekarang sudah banyak yang keluar penjara paska terbongkarnya pelatihan di Jantho, Aceh diantaranya adalah kelompok Ahmad Sufyan alias Acong yang kini sudah bebas. Mantan aktifis Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) ini dan bekas anak buah Abu Umar, Sufyan dan temannya Anwar pernah mendatangi Badri Hartono meminta diajarkan merakit bom. Sufyan sepakat bergabung dengan AlQaida Indonesia dan menjadi amir jakarta. Ia terlibat bom Beji 2012 dan Bom Tambora yang meledak dan disimpan di rumah anak buahnya, Thoriq di Tambora pada September 2012.

Di Medan muncul kemlompok Toni Togar yang anggotanya terlibat perampokan Bank CIMB paa Agustus 2010 serta penyerangan Polsek Hamparan Perak pada September 2010. Di Klaten muncul kelompok Ightiyalat pimpinan Roki Apris Dianto yang terlibat aksi pengeboman di Klaten 2010-2011. Di Jakarta ada kelompok Pepi Fernando yang melakukan aksi bom buku pada Maret 2011 yang anggotanya diantaranya Hendi, Maulana Tsani dan Riki. Di Jakarta pula muncul kemlompok Kemayoran pimpinan Ali Miftah yang merencanakan aksi meracun polisi pada 2011. Di Jakarta lagi, kelompok Abu Umar ditangkap bersama belasan anak buahnya karena berencana membunuh polisi, membunuh orang-orang Syiah dan berencana menyerang kedutaan besar Singapura. Di Jakarta juga muncul Mujahidin Indonesia Barat pimpinan Abu Roban yang pada akhir 2012 membentuk kelompok sendiri setelah berselisih dengan Kodrat alias Polo pengganti Abu Umar. Abu Roban melakukan fa’i di berbagai daerah untuk menyokong kelompok Poso pimpinan Santosa. Dari Desember 2012 hingga April 20013 mengumpulkan dana hingga mencapai milyaran dari hasil 10 perampokan di lampung, banten dan Jawa barat. Di Bali muncul kelompok Hilman Jayakusumah yang berencana melakukan aksi teror di Bali 2012, Namun aksinya terendus polisi, dan Hilman bersama empat kawannya meregang nyawa ditembak polisi. Di Solo ada kelompok Farhan Mujahid, anak tiri Abu Umar. Kelompok anak muda ini melakukan aksi teroro penyerangan terhadap polisi di Solo pada Agustus dan September 2012. Aksi mereka terhenti setelah Farhan dan temannya ditembak mati. Di Solo lagi muncul kelompok Badri Hartono yang menamakan diri AlQaida Indonesia. Ia adalah anak buah Noordin M Top dan Urwah. Setelah dua pimpinannya ditembak mati tahun 2009, ia tidak aktif di kelompok jihad. Namun ketika ia dihubungi Imron anak buah Santosa untuk mencari tim bagi pelatihan di Poso, ia kembali merekrut kelompok bekas Noordiin diantaranya Wendi dan Pilih yang mahir membuat bom. Timmy dikirim ke Poso.

Dari deretan fakta ini, tampaknya teroris harus dilihat sebagai sesuatu yang organik, dia akan bermalihrupa selaras kondisinya. Eksistensi terorisme dalam kehidupan hubungan antar umat manusia berlangsung layaknya unslaying hydra (hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati) atau Candabirawa (jin/raksasa milik Raden Narasoma dalam cerita wayang yang patah tumbuh hilang berganti) (Hendropriyono, 2009).

Ada dinamika tingkat kelompok. Ranya Ahmad dalam Terrorist Ideologies and Target Selection, Journal of Applied Security (2018) seperti halnya kelompok lain, individu dapat masuk ke kelompok dengan variasi dari bidang ilmu pengetahuan yang sama. Mereka dapat menjawab pertanyaan tentang kejahatan, dan mereka harus tahu, apapun itu. Hasilnya adalah kelompok yang kehilangan identitas. Pembentukan kelompok adalah pembentukan ideologi kelompok dan pandangan dunia. Anggota yang masuk dalam jaring terorisme bermaksud untuk penyerahan diri.

Terorisme merupakan perilaku berdasarkan sikap radikal. Karakter radikal sesungguhnya bisa diubah. Sikap radikal bukanlah bawaan lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari. Suatu sikap dapat berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada kondisi internal dan eksternal individu. Untuk melunakkan paham radikal bisa dilakukan dengan cara memberikan pemahaman ulang misalnya melalui reedukasi yang merupakan bagian dari deradikalisasi. Hal ini dperlukan agar eks napiter tidak mengulangi perbuatan. Dan ini bisa menyasar langsung pada upaya deidiologisasi.

Penelitian Speckhard, dalam Prison and Community Based Disengagement and Deradicalization Programs for Extremist Involved in Militan Jihadi Terrorism Ideologies and Activities (2011) mengungkapkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk melepaskan individu atau kelompok dari terorisme, bahkan untuk menderadikalisasi atau mengubah keyakinan mereka adalah dengan memahami strategi yang dilakukan untuk memotivasi calon-calon anggota, seperti rekrutmen secara tatap muka, melalui meda, internet, bahkan buku. Tampak bahwa buku-buku radikal merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh kelompok teroris untuk menyebarkan paham yang diyakini agar dapat merekrut anggota baru dengan cara diberikan secara cuma-cuma atau dijual dengan harga sangat murah. Demi menandingi itu, dibutuhkan upaya untuk membalik pemahaman tersebut melalui pendirian Rumah Buku dengan penyediaan literasi yang variatif dan bermuatan moderat dalam rangka merubah pemahaman radikal. Interaksi yang positif terjadi antara eks napiter dan orang-orang moderat dapat menjadi salah satu faktor yang membuat individu meninggalkan kelompoknya (Altier, Thoroughgood & Hrogan, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Woodward, Amin & Coleman dalam Education, Celebrating Islam and Having Fun As Counter-Radicalization Strategies in Indonesia (2010) mengungkapkan bahwa mengajarkan pemuda tentang kompleksitas pemikiran Islam merupakan salah satu cara untuk mengembalikan mereka melawan propaganda radikal. Hal ini juga merupakan upaya pencegahan dari radikalisme, seperti yang diungkapkan pada penelitiannya yang dilakukan di Arab Saudi. Penelitiannya itu juga menunjukkan bahwa individu yang berpartisipasi pada program rehabilitasi di Arab Saudi tidak memiliki pendidikan agama yang tepat semasa kecil.

Ngaji Metodologi

Terorisme berakar dari pemikiran radikal yang mengarahkan individu atau kelompok untuk melakukan aksi. Diperlukan sebuah inovasi baru dalam pendekatan deradikalisasi yang dapat menurunkan risiko teroris bergabung kembali dengan kelompoknya dan bersifat berkelanjutan. Salah satu program alternatif yang ditawarkan adalah deradikalisasi dengan menggunakan pendekatan literasi (literacy approach) melalui pengajian ushul fikih sebagaimana dilakukan oleh Rumah Daulat Buku (Rudalku). Eks napiter dulunya banyak terpengaruh paham radikal dari pengajian yang dilakukan oleh kelompok ataupun mentor radikal. Melalui strategi pengajian yang dilakukan oleh Rudalku, dengan materi khusus ushul fiqih, hendak mengisi ruang kosong pemahaman eks napiter .

Upaya bantuan ekonomi tak jarang dimanfaatkan sebagai pundi-pundi uang oleh eks napiter dengan dalih sudah tidak berkomitmen (infishol) dengan kelompok teroris terdahulu. Terlebih, upaya-upaya tersebut hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu karena keterbatasan sumber daya dan biaya. Disinilah perlunya sebuah inovasi baru yang dapat menurunkan risiko teroris bergabung kembali dengan kelompoknya dan bersifat berkelanjutan. Salah satu program alternatif yang bisa ditawarkan adalah deradikalisasi dengan menggunakan pendekatan kajian ushul fikih sebagaimana dilakukan oleh komunitas Rudalku yang berdomisili di Jakarta. .Komunitas ini sejak 2017 mencoba melakukan moderasii terhadap eksnapiter melalui pendekatan literasi yang diantaranya melalui program pengajian khusus kajian ushul fikih metodologi hukum Islam.

Mencuplik penelitian Julie Hwang Chernov dan Kristen Schulze dalam Why They Join: Pathways into Indonesian Jihadist Organizations Hwang & Schulze (2018), pengajian (Islamic study session) menjadi sarana efektif untuk merekrut anggota dan menanamkan doktrin radikal. Hasil penelitian ini menunjukkan 87 dari 106 militan muslim bergabung dengan kelompok radikal melalui pengajian radikal. Mereka telah menjadi komponen kunci dalam perekrutan muslim ke dalam gerakan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) sejak 1980-an serta Jamaah Islamiyah (JI) sejak 1993, hingga mereka yang bergabung dengan kelompok-kelompok pro-ISIS di Indonesia sejak 2013. Pengajian bagi kelompok radikal berfungsi secara mandiri serta bersama dengan jalur-jalur lain seperti sekolah dan konflik lokal. Dalam bentuk pengajian mereka yang lebih eksklusif, mempersiapkan seorang calon anggota untuk diindoktrinasi. Disamping itu, ikatan sosial yang terbentuk kuat dalam pengajian yang lebih eksklusif menjamin kesetiaan para ikhwan terhadap organisasi militan Islamis. Merujuk hal tersebut, pengajian yang dilaksanakan oleh Rudalku menjadi media efektif untuk mencapai tujuan sebaliknya yaitu moderasi.

Pengajian di Rudalku menggunakan kitab Al-Waroqot, sebuah kitab tentang ushul fikih dasar untuk memahami pokok-pokok ushul fikih. Isi kitab ini adalah pembahasan ushul fikih saja. Tepatnya ushul fikih mazhab Asy-Syafi’i. Kitab ini tidak membahas fikih dan tidak membahas akidah. Pembahasan ushul fikih bermakna pembahasan aspek epistemologi fikih. Artinya, membahas ilmu kaidah dan rambu-rambu bagaimana fikih diproduksi. Jadi ilmu ushul fikih itu ilmu kerangka pikir. Ilmu ushul fikih adalah ilmu yang membentuk metode berpikir fikih dan nalar syar’i dalam Islam.

Untuk menggali hukum-hukum syariat Islam wajib mengetahui semua keilmuan yang berkaitan erat dengan Al Qur’an, dan hadits. Keilmuan-keilmuan ini mencakup: nahwu, shorof, balaghoh, tarikh, dan yang lainnya. Semua keilmuan ini di rangkum dalam sebuah disiplin ilmu yang di sebut dengan “ilmu ushul fiqih”. Kitab al-Waroqot adalah kitab kecil tentang ushul fiqh yang menjadi referensi pertama dan utama di hampir semua pondok pesantren di Indonesia. Kitab ini adalah karangan ulama besar dalam madzhab Syafi’i yang terkenal dengan sebutan Imam Haromain yaitu Syekh Jalaluddin Al Mahalli.

Di banyak pesantren salafiyah, ushul fikih mulai dikenalkan ketika santri sudah mencapai tingkatan aliyah. Sebelum fase ushul fikih, kitab-kitab fikih dasar sudah lebih dulu diajarkan. Setidaknya, santri sudah mengkhatamkan Safinah an-Naja, Sullam at-Taufiq, dan Fathul Qorib sebelum mengkaji ushul fikih. Karena fikih itu teori praktis yang harus lebih dulu dipelajari demi keperluan ibadah dan muamalah sehari-hari. Baru setelahnya, santri diberi tahu rumus-rumus apa saja yang melahirkan fikih lewat ushul fikih. Setidaknya ini menggambarkan betapa untuk menjadi seseorang yang memahami ilmu agama membutuhkan fase-fase bertingkat yang tidak bisa dilewati dalam waktu singkat.

Model pengajian di pesantren yang lalu dicoba terapkan dalam pengajian di Rudalku adalah sorogan dan bandongan, sebuah istilah yang lazim dipakai di pesantren-pesantren tradisional. Pondok pesantren tradisional mempunyai metode tersendiri dalam mengajarkan agama Islam terhadap santri, yaitu metode sorogan dan bandongan. Kedua istilah ini sangat populer di kalangan pesantren, terutama yang masih menggunakan kitab kuning sebagai sarana pembelajaran utama.

Kedua metode tersebut kerap digunakan santri untuk menggali ajaran-ajaran Islam melalui kitab kuning atau kitab turats. Secara bahasa, sorogan berasal dari kata Jawa sorog, yang artinya menyodorkan. Dengan metode ini, berarti santri dapat menyodorkan materi yang ingin dipelajarinya sehingga mendapatkan bimbingan secara individual atau secara khusus.

Dengan menggunakan metode sorogan, setiap santri akan mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dengan ustaz atau kiai tertentu yang ahli dalam mengkaji kitab kuning, khususnya santri baru dan santri yang benar-benar ingin mendalami kitab klasik. Dengan metode ini, kiai tersebut dapat membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan santri secara langsung. Metode Ini sangat efektif untuk mendorong peningkatan kualitas santri tersebut.

Dengan menggunakan metode sorogan, santri diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Hal ini tentunya menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri.

Adapun metode bandongan atau bandungan, istilah ini dalam bahasa Jawa, berasal dari kata bandong, yang artinya pergi berbondong-bondong. Hal ini karena bandongan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar. Dalam menggunakan sistem ini, sekelompok murid yang terdiri antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsari Dhofier, 1982).

Filsafat ilmu dan metodologi penelitian yang digunakan dalam ilmu fiqih adalah ushul fiqih. Jika dalam metodologi penelitian modern dikenal metode induktif, maka dalam ushul fiqih dikenal istilah al istiqra’ . Demikian juga yang disebut sebagai metode deskriptif analitis, eksperimental dan lain-lain, semuanya dapat ditemukan dalam istilah-istilah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqih, seperti masalik al- ‘illah (pencarian sebab-sebab hukum), as sabr wa at taqsim (memilah dan mengklasifikasi hukum), takhrij al-manath (menyeleksi maksud hukum), tanqih al- manath (mengambil atau mengeluarkan maksud hukum) dan tahqiq al-manath (menetapkan maksud hukum), dan lain-lain.

Pada hakikatnya, ilmu ushul fiqih bertujuan untuk mengatur tata cara  pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil yang bersifat umum, dan juga mengatur metode ijtihad. Artinya, ushul fiqih hanya berkaitan dengan masalah-masalah amaliyah dan tidak berhubungan dengan masalah i’tiqodiyah (teologi).

Ushul fiqih sebagai kerangka teoritik atau metodologi pengambilan hukum syar’i adalah salah satu produk pemikiran (intaj fikri)  kaum muslimin yang mempunyai urgensi sangat tinggi dalam kajian ilmu-ilmu Islam. Dengan ushul fiqih, seorang faqih mampu  berinteraksi dengan narasi-narasi yang terdapat pada teks (nash)  untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i dari padanya. Fungsi ushul fiqih sangat mirip logika dalam filsafat, oleh karena itulah korelasi keduanya sangat erat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan dalam berargumentasi, maka Ushul fiqih mencegah seorang dari berbuat kesalahan dan penderivasian hukum. Oleh karena itulah, tidak berlebihan jika para ulama menjadikan ilmu ushul fiqih sebagai salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2008; .20).

Dalam perkembangannya, ushul fikih tidak hanya menjadi sekedar metodologi penderivasian hukum, akan tetapi juga sebuah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi. Misalnya dalam masalah qath’i dan dzanni, mutawatir dan ahad, yang merupakan beberapa contoh yang sangat kental muatan epistemologinya, sebab menyangkut persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis, qath’i  berarti pasti, yakin, dan tidak mengandung keraguan dan tidak mungkin dipertanyakan. Berbeda dengan dhanni yang berkemungkinan salah dan benar, tidak pasti seperti qath’i. Untuk menentukan apakah ilmu tersebut qath’i atau dzanni tergantung pada sumber ilmu tersebut. Bila sumbernya qath’i, maka dengan sendirinya ilmu yang dihasilkan juga bersifat qath’i (pasti dan yakin). Dan begitu juga sebaliknya, bila sumbernya diragukan, maka ilmu yang disandarkan kepadanya sudah tentu diragukan juga (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2008; 21).

Ushul fiqih—mengutip Musthafa Abdul Razak—merupakan corak ‘filsafat’ yang lahir secara genuine dari kandungan ajaran Islam sendiri. Di dalam ushul fiqih inilah dicarikan ‘jalan tengah’ yang saling bersitegang antara teks dan akal, doktrin dan tradisi. Dan fikih merupakan ijtihad dengan mengikuti kaidah-kaidah sebagaimana tertuang dalam ushul fiqih.

Sebelum mengeluarkan fatwa, para ulama harus terlebih dahulu mengetahui kaidah yang dapat digunakan untuk menggali hukum amaliah dari dalil yang terperinci. Pengetahuan ini bersumber dari disiplin ilmu klasik, yaitu ushul fikih. Tiada fikh tanpa melalui ushul fikih. Kalau ilmu fikih bicara soal halal-haram, maka ilmu ushul fikih bicara proses yang mendasari halal-haram tersebut. Imam Syafi’i dianggap sebagai ulama yang pertama kali secara sistematis menulis kitab ushul fikih lewat karyanya al-Risalah. Setelah itu bermunculan kitab yang ditulis para ulama untuk menjelaskan (syarh) apa yang disampaikan Imam Syafi’i dan ada pula yang mengkritisi isi kitab beliau.

Tak pelak, komitmen Rudalku untuk berpartisipasi menanggulangi radikalisme dan terorisme melalui pengajian ushul fikih merupakan pendekatan yang out of the box. Semua ini menuntut perubahan terencana dan berkesinambungan guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas deradikalisasi. Melalui kegiatan pengajian ushul fikih ini, pemahaman radikal yang masih mengendap dalam benak eks napiter bisa terbuka dengan wawasan yang lebih luas. Sehingga dapat merangsang eks napiter untuk bisa menerima kemajemukan, di luar identitas yang selama ini didoktrinkan oleh mentor radikal bahwa identitas kelompok radikal bersifat mutlak dan paling benar. Para perekrut aksi teror menghendaki agar kaum muslim lupa bahwa mereka sesungguhnya memiliki berbagai identitas lain dan bahwa mereka harus memutuskan sendiri berbagai persoalan politik dan moral yang penting serta bertanggung jawab atas keputusan itu dan bukan diarahkan oleh tuntunan para perekrut tersebut yang dilandasi oleh pemahaman tak lazim tentang Islam yang dapat dicermati dan dikritisi (Amartya Sen, 2006).

Pendekatan pengajian ushul fikih model Rudalku ini perlu mendapatkan perhatian khusus secara akademik disaat negara tengah berupaya keras melakukan deradikalisasi dalam rangka penanggulangan terorisme. Lebih-lebih, saat ini tengah menyeruak paham-paham puritan dan radikal berwajah politik identitas, conservative turn, sentimen keagamaan kolot, dan literalisme yang akhirnya memunggungi nalar kritis dan bahkan konflik antar paham yang tak jarang penuh umpatan dan tawuran hingga potensi aksi terorisme. Karena itu, ikhtiar sekelompok aktivis yang bergerak di ranah CVE untuk berpartisipasi dalam rangka deradikalisasi berbasis keilmuan tentu perlu mendapatkan perhatian khusus. Sehingga, sangat vital untuk kembali mengajak mereka pada tradisi ilmiah yang terbuka untuk membuahkan wawasan kosmopolit, berpikir kritis dan penuh toleran.

Nah inilah pentingnya mengajarkan ushul fikih khususnya kepada para eksnapiter. Dengan disiplin ilmu ini, mereka akan mengetahui betapa rumitnya untuk memahami sumber primer Islam yaitu al-Quran dan Hadits. Tidak boleh seenaknya menafsirkan apalagi bergegas untuk mengeluarkan fatwa. Zaman sekarang tidak ada lagi mujtahid muthlak laiknya seperti Imam Syafii, imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali. Ijitihad yang bisa dilakukan saat ini harus secara jama’i atau kolektif yang terdiri dari para ulama yang keilmuannya sudah memadai (tabahhur). Radikalisme yang saat ini mudah menjangkiti pemikiran sebagian umat Islam, akan mudah tersulut menjadi sikap radikal dan bisa saja lalu tindakan teroris terjadi bisa karena tidak ada pendalaman leilmuan keagamaan terlebih tidak mengkaji keislaman secara metodologis. Berfikir saintifik jelas diwajibkan dalam banyak hal teermasuk dalam mempelajari agama. Keilmuan keislaman sangat banyak terhampar dengan kitab-kitab warisan ulama terdahulu dalam berbagai bidang termasuk ilmu ushul fikih. Umat Islam sekarang sebagai pewaris pusaka keilmuan itu sudah seharusnya melestarikan dan mengembangkan. Paling tidak memiliki spirit keilmuan keislaman yang rasional dan empirik serta metodologis yang bisa menjauhkan dari radikalisme (tathorruf).

Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

41  +    =  43