Channel9.id-Jakarta. Bebasnya, mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung masih dianggap kontroversi. Ada apa di balik kasus ini?
Begitu keluar dari rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, di kawasan Kuningan Jakarta Selatan pada Selasa malam (9/7) lalu, Syafruddin Arsyad Temenggung menunjukkan buah pikirannya selama mendekam satu tahun enam bulan di lembaga anti rasuah tersebut. Ia menulis buku berjudul “Bencana BLBI dan Krisis Ekonomi Indonesia”.
Apa isi buku tersebut dan apa kaitannya dengan pembebasan Syafruddin Temenggung. Ekonom Senior DR Rizal Ramli yang menulis pengantar di buku tersebut, sedikit memberi gambaran tentang kasus yang mendera Syafruddin Temenggung ini.
Berikut nukilan tulisan Dr Rizal Ramli yang kami sajikan dalam dua tulisan. Syafruddin yang saya kenal adalah tipe pejabat karier yang pekerja keras, berintegritas dan loyal kepada pimpinan. Saya pernah menugaskan SAT keliling Eropa, untuk menyelamatkan hutang Maskapai Garuda dan berhasil. Sebagai pribadi, SAT bukan tipe orang yang mudah dipengaruhi oleh siapa pun, sehingga cocok untuk jabatan Sekretaris KKSK yang tugas pokoknya membantu pekerjaan Menko Perekonomian terkait Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN). Salah satu lembaga yang didirikan khusus untuk menyelesaikan krisis ekonomi 1997-1998.
Di dalam Tim KKSK, kami sering melakukan pembahasan dalam diskusi-diskusi panjang untuk mereview paket-paket kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah sebelumnya atas kehendak IMF. Dari 140 butir kesepakatan itulah kami sisir, mana-mana yang tidak terkait dengan stabilitas moneter dengan pemantapan kurs rupiah dan mana pula conditonalities LoI IMF yang kami anggap sebagai “titipan” dari korporasi internasional yang ikut mendopleng dari agenda utama IMF di Indonesia.
Jadi, tidak mengherankan ketika kami mendengar sebagai Kepala BPPN Syafruddin Temenggung pernah mengusir perwakilan IMF dari kantor BPPN. Kalau tidak salah itu terjadi, karena perwakilan IMF memaksakan skema penjualan cepat aset-aset bank bermasalah diantaranya BCA.
Kasus yang menjerat Syafruddin Temenggung, mantan Ketua BPPN terakhir ini juga aneh. Mengapa hanya Syafruddin Arsyad Temenggung saja yang harus bertanggungjawab? “Bahasa sederhananya saya, tidak masuk akal. Kok cuma Syafruddin yang harus menghadapi pengadilan,” hal ini pernah saya sampaikan kepada media di pengadilan ketika saya menjadi saksi atas Syafruddin Temenggung.
Keanehan lain, karena Syafruddin Temenggung dijerat dengan sesuatu yang tidak dia lakukan. Kasus Syafruddin Temenggung, bukan kasus BLBI. Kasus ini terkait penjualan aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang sebelumnya adalah penerima kucuran dana BLBI dan masuk program penyehatan BPPN. Kasusnya secara spesifik, adalah penjualan surat utang yang pada saat penutupan BPPN 2004 telah diserahkan senilai Rp 4,8 triliun kepada Menteri Keuangan Boediono.
Belakangan diketahui aset tersebut dijual oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) atas persetujuan Menteri Keuangan pada tahun 2007, senilai Rp 220 miliar. Selisih Rp 4,58 triliun inilah yang kemudian dibebankan kepada Syafruddin Temenggung sebagai dugaan kerugian negara, dan menjerat Syafruddin Temenggung hingga harus berurusan dengan pengadilan.