Opini

Dikotomi Pemimpin Perempuan dalam Perspektif Islam

Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.

Channel9.id – Jakarta. Dalam essay Maimun (Staf Pengajar IAIN Raden Intan Lampung) mengatakan, eksistensi wanita dalam konteks kepemimpinan strategis di berbagai lini kehidupan termasuk dalam pemerintahan menjadi permasalahan kontroversial di kalangan para ulama klasik dan kontemporer. Sebagian ulama cenderung membolehkan wanita menjadi pemimpin dalam jabatan-jabatan strategis, sedangkan sebagian ulama yang lain cendrung tidak membolehkan wanita menjadi pemimpin.

Pandangan mereka boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin didukung oleh masing-masing argumentasi masing-masing. Namun demikian, apabila masing-masing argumentasi itu dianalisis secara metodologis (ushul fiqh) kontekstual, maka tampaknya pandangan yang lebih logis dan rasional mereka (ulama) yang cendrung membolehkan wanita menjadi pemimpin dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat yang akan ditimbulkannya.

Memasuki era moderniasasi isu tentang pemimpin kaum perempuan, utamanya di Indonesia yang mayoritas penganut agama Islam, masih mengusik pikiran kelompok kaum perempuan. Isu politik tentang pemimpin kaum perempuan salah satu isu seksi yang masih dimanfaatkan oleh sebagian kecil kalangan di tengah pergulatan calon-calon pemimpin di masa event pilkada saat ini. Isu ini menjadi pemicu dalam tuntutan kesetaraan gender oleh kaum perempuan di tengah emphasis dan dominasi perjuangan dan kepemimpinan kaum laki-laki. Di sisi ini kaum perempuan terus melakukan issue resistance atas gender inequality dalam arena kepemimpinan sosial dan politik yang menuntut pembangunan demokrasi yang berkeadilan.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah menegaskan, mayoritas ulama klasik dan sebagian ulama kontemporer berpendapat, perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin negara. Artinya, sebelum memasuki abad modern ini pandangan mayoritas ulama klasik tidak membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin. Cara pandang ini menjadi sedikit berubah sejak dunia memasuki era modern dimana sebagian ulama membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin, sebagian lainnya tidak membolehkan.

Ulama kontemporer ini lahir di era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan teknologi media, era mana telah melahirkan perubahan paradigma umat manusia global menuju keseragaman budaya demokrasi. Dalam konteks ini cara pandang kaum laki-laki tentang hak kaum perempuan telah berubah seiring dengan perkembangan dunia kepemimpinan yang terjadi pada banyak negara yang menganut system demokrasi khususnya, tanpa kecuali paradigma nilai keislaman tentang kepemimpinan kaum perempuan-pun sedikit ikut bergeser.

Dua perspektif yang bersifat dikotomis ini, pertama, dilihat dasar argumentasi kelompok yang kontra terhadap kaum perempuan menjadi pemimpin. Dalam QS. An-Nisa ayat 34 menegaskan, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Lengkapnya “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu berikan nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha tinggi lagi Maha besar.”

Dalam ayat ini mengandung tafsiran, wanita tidak diperbolehkan menjadi pemimpin. Banyak kalangan yang menggunakan dalil ini sebagai alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin. Dari ayat ini pula kemudian dalam acara ritual Islam seperti dalam kasus perwalian suatu pernikahan, imam shalat, dan dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga, perempuan tidak dapat memimpin karena hal ini telah ditetapkan dalam syariat Islam.

Argumentasi lain, mengapa kaum perempuan dilarang menjadi pemimpin. Hal ini karena secara naluriah dan psikologis umumnya kaum perempuan memiliki ketergantungan pada kaum laki-laki. Kaum perempuan dianggap identik dengan pribadi yang lemah, lebut, gampang emosional, kurang rasional, dan lain-lain. Sedangkan kaum laki-laki, dipandang sebagai pribadi yang kuat, petualangan, pemberani, bertanggung-jawab, rasional, melindungi, dan dan lain-lain. Penggambaran seperti inilah adalah stereotype yang membuat posisi kaum perempuan seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki. Stereotype ini kemudian berakibat pada kaum perempuan menjadi sulit bisa tampil menjadi pemimpin di setiap lini sosial-politik.

Perspektif kedua, apa yang menjadi dasar argumentasi kelompok yang pro terhadap kaum perempuan menjadi pemimpin. Mereka meyakini pandangan ormas Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) sebagai representasi pandangan Islam moderat. Kaum perempuan dapat menjadi pemimpin dalam berbagai urusan kemasyarakatan, misalnya dalam urusan politik, organisasi sosial, dan pemerintahan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa kepemimpinan kaum perempuan memiliki kompetensi dan kecakapan. Kemampuan kepemimpinan bukan karena jenis kelamin, tetapi faktor potensi personal masing-masing orang.

NU berpegangan pada QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menegaskan, “Wahai manusia, sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha teliti.”

Atas dasar ayat ini, pada dasarnya Allah SWT menciptakan hambanya, baik itu laki-laki maupun perempuan semata-mata bertujuan untuk mendarma-baktikan dirinya kepada Allah SWT. Agama Islam diturunkan ke muka bumi membawa ajaran kesetaraan (egalitarian) bagi seluruh umat manusia. Islam memandang manusia adalah sederajat, tidak membeda-bedakan ras, kasta, jenis kelamin, jenis kulit, dll. Dalam hukum Islam yang membedakan setiap manusia adalah tingkat kualitas ketakwaannya, amal-ibadahnya selama hidup di dunia fana.

Dalam Al-Quran dan Hadist, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjadi pemimpin. Epistimologis “manusia menjadi pemimpin” mengandung arti baik laki-laki maupun perempuan bisa atau diperbolehkan menjadi pemimpin. Esensi konseptual kepemimpinan yang digariskan dalam Islam adalah terletak pada kualitas kemampuan personal pemimpin yang dapat mendatangkan banyak manfaat bagi umat manusia. Efektivitas kepemimpinan seseorang dapat diukur dari kapasitas mempengaruhi dan mengarahkan para pengikut, bukan pada diksi masalah gender.

Kriteria pemimpin dalam ajaran Islam, pemimpin harus memiliki peranan signifikan dalam memberikan keadilan, ketauladanan, semangat memerakarsai atau memberi pengaruh, kemampuan mendorong dan menggerakkan pengikut yang dipimpin, serta mampu menunjukkan prestasi yang dicapai baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Seorang pemimpin disyaratkan memiliki kualifikasi kecakapan dan kelebihan khusus pada satu bidang tertentu. Dengan kelebihan ini seseorang itu secara politis mampu mempengaruhi para pengikut untuk bersama-sama melakukan suksesi kepemimpinan ke arah pencapaian tujuan secara taktis, efektif dan efisien.

Dalam perspektif ilmiah, pandangan Anshor (2018) dalam jurnal E.A Da Meisa, P.P Anzari (2021) ditegaskan, kepemimpinan perempuan secara normatif mempunyai legitimasi yang kuat, baik secara teologis, filosofis, maupun hukum. Selain itu pada konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang disahkan melalui UU RI Nomor 7/1984 dan dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, dijelaskan bahwa telah diberikan jaminan pada perempuan sehingga terbebas dari tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun.

UU RI Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 46, menjamin keterwakilan perempuan baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kemudian pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9/2000 tentang pengarus-utamaan gender dalam pembangunan nasional yang mengharuskan seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional dirancang dengan perspektif gender.

Kaum perempuan memiliki potensi sebagai pemimpin sosial dan politik misalnya pada ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB JAYA) maupun pada dunia pemerintahan. “Beberapa pemimpin terlahir sebagai Wanita”, quotes Geraldine Ferraro – Anggota Kongres Amerika Serikat periode 1979-1985. Indra Nooyi – pemimpin bisnis India berkebansaan Amerika, pemikir strategis dan CEO teratas dalam dunia kepemimpinan perusahaan – ia mengatakan, “Kepemimpinan sulit untuk didefinisikan dan kepemimpinan yang baik bahkan lebih sulit. Tapi, jika kamu bisa membuat orang mengikutimu sampai ke ujung dunia, kamu adalah pemimpin yang hebat.” Lalu, Margaret Thatcher – Perdana Menteri abad 20 sekaligus pemimpin politik perempuan pertama Inggris dan Perdana Menteri pertama di benua Eropa – mengatakan, “Setiap wanita yang memahami masalah menjalankan rumah akan lebih dekat untuk memahami masalah menjalankan sebuah negara.”
Wallahu a’lam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  55  =  56