Channel9.id – Bandung. Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan UMKM, meresmikan kantor Pusat Studi Bumi Alumni & Legal Center, yang bertempat di Surapati Core, Bandung (2/10/2022).
Hadir dalam acara tersebut, Ketua Dewan Pengawas PBA, Ketua Umum dan jajaran dewan pengurus PBA serta dihadiri oleh Dr. Idris, SH, MH, Dekan Fakultas Hukum Unpad.
Ketua Umum PSBA adalah Arief Budiman SH dan Ketua Dewan Pengawasnya adalah Dr. Ary Zulfikar, SH, MH. Peresmian kantor PSBA dan Legal Center juga sekaligus sebagai perayaan ulang tahun ke-2 Perkumpulan Bumi Alumni.
Dalam sambutannya Ketua Umum PBA, Dr. Ary Zulfikar SH,MH, menyampaikan dalam perkembangannya Perkumpulan Bumi Alumni, tidak hanya menggerakan para pelaku bisnis UMKM. Namun juga memerlukan adanya lembaga yang melakukan kajian-kajian dalam bidang bisnis UMKM, mengkaji permasalahan yang terjadi terkait dengan regulasi dan sebagainya.
“Hal itulah yang melatar belakangi kenapa kami membuat lembaga kajian, kita harapkan pusat studi ini bisa memberikan masukan buat para pengambil kebijakan dalam menyusun regulasi, sebagai salah satu usulan dari masyarakat,” jelasnya.
Selain menjadi pusat kajian, PSBA juga menjadi legal center yang akan memberikan bantuan hukum kepada para pelaku bisnis UMKM. Baik terkait dengan perijinan maupun hal lain misalnya terjerat pinjaman online dan sebagainya.
Dalam acara tersebut juga dibarengi dengan diskusi bedah buku yang berjudul “Waspada Fintech Berkedok Koperasi Simpan Pinjam” karya Dr. Dewi Tenty, SH,MH. Diskusi yang dipandu oleh Ketua PSBA, Arief Budiman SH menghadirkan penanggap Prof. Dr. Atip Latipul Hayat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Dr. Dewi Tenty dalam bukunya menyampaikan Indonesia sebagai negara terbanyak yang memiliki koperasi sangat dominan jenis koperasi simpan pinjam dibandingkan koperasi produksi. Karena demand/permintaan dari masyarakat yang membutuhkan pinjaman kepada lembaga non bank sangat tinggi. Namun persoalannya adalah banyak dari koperasi-koperasi yang disalah gunakan dengan berbagai modus.
Hal ini terjadi karena kalau masyarakat hendak mendirikan BPR tidak mudah, syaratnya sangat ketat, dari mulai perijinan, dokumen dan persyaratan keuangan. Demikian juga ketika mendirikan fintech juga tidak mudah. “Nah yang paling mudah adalah mendirikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dengan modal 15 juta pun sudah berdiri, dengan anggota minimal 15 orang” jelasnya.
Apa yang terjadi, menurut Pengamat Koperasi dan bisnis UMKM ini melihat, banyak kemudian rentenir-renternir berkumpul membuat KSP. “Nah itu yang kemudian menjadi embrio dari fintech abal-abal berkedok Koperasi Simpan Pinjam,” jelas Dewi. Karena pembuatan dan pengawasannya tidak diawasi oleh OJK dan modal juga minim.
Kemudian karena pandemi, masyarakat di dorong melakukan digitalisasi dalam segala aspek, termasuk dalam soal pinjam-meminjam uang. Fintech dengan layanan digital berkedok KSP berkembang bak jamur di musim hujan. “ Ini yang salah kaprah, kalau Fintech harus terdaftar di OJK, tapi koperasi dengan layanan digital hanya terdaftar di Kominfo,” tambahnya.
Dampak dari adanya fintech berkedok koperasi sangat merusak, masyarakat yang tidak paham mencari pinjaman instan dengan nilai misalnya Rp 2,5 juta namun kemudian menjadi bengkak hingga sampi Rp 100 juta. Bahkan ada yang juga sampai menjual rumah demi membayar bunga pinjaman yang berlpat-lipat.
“Kalau koperasi tidak bisa karena tidak bisa memberikan bunga ugal-ugalan, dan selalu ada dual system, peminjam adalah anggota yang juga pemilik koperasi, jadi harus bertanggungjawab terhadap pinjamannya,” ungkapnya.
Untuk tahu sebuah koperasi dalam mengelola usahanya benar, sebenarnya mudah berapa jumlah asset dan berapa jumlah anggotanya. Kalau assetnya besar, namun anggotanya sedikit maka harus waspada, kalau assetnya besar misalnya 1 trilyun, namun anggotanya sampai ribuan, itu hal yang wajar.
Koperasi yang benar juga melakukan edukasi dan pelatihan terhadap anggotanya, sebelum melakukan pinjaman. “Ïtu koperasi yang benar, melakukan pelatihan dan membedakan dengan fintech-fintech illegal,” tandas Dewi. Sebelum bisa meminjam uang, daftar dulu, ikut pelatihan sehingga anggota benar benar paham prinsip dan cara kerja koperasi.
Menurut Dewi, dirinya sangat prihatin dengan banyaknya masyarakat yang menjadi korban dari adanya pinjol illegal. Ada yang bahkan sampai bunuh diri, hal itulah yang juga menggerakan dia untuk membuat buku terkait dengan fintech illegal yang berkedok KSP.
“Buku ini untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat, kenali koperasi simpan pinjam, dan untuk membedakan dengan fintech illegal,” pungkasnya.
Dalam tanggapannya, Prof Atip menyoroti penggunaan teknologi yang memunculkan financial technology (fintech), teknologi sebenarnya adalah tools untuk mempermudah kehidupan, namun semaju majunya teknologi yang lebih canggih adalah otak manusia.
“Kata kunci dari fintech untuk menghilangkan kewaspadaan ada dua, pada teknologinya sendiri, jadi ketika fintech masuk dalam denyut nadi kehidupan dan sekarang muncul anomal -anomali, berarti belum selesai teknologinya,” ujarnya. Ia berharap agar teknologi financial ini berkembang dan mampu menjadi solusi ke depannya.
Sementara Dr. Ary Zulfikar yang juga menjadi Direktur Eksekutif Hukum LPS menyampaikan literasi keuangan yang membicarakan mana lembaga keuangan yang pruden dan tidak memang masih belum sepenuhnya dipahami masyarakat.
Kalau meminjam kepada lembaga keuangan non bank, pasti bunganya lebih tinggi dibandingkan dengan bank. Termasuk koperasi pasti bunganya lebih tinggi, persoalannya banyak masyarakat yang menjadi anggota koperasi hanya butuh pinjam uang. Mereka menikmati pinjaman uang di koperasi karena lebih mudah dibandingkan dengan perbankan.
Menurutnya disinilah dibutuhkan peran pemerintah, agar masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan akses ke perbankan. “ Masyarakat yang memiliki literasi rendah ini, mendapatkan akses meminjam uang ke lembaga perbankan, sehingga mereka tidak mencari pinjaman ke pinjol ataupun fintech illegal,” jelasnya.