Channel9.id-Jakarta. Fenomena bisnis digital melalui Non Fungible Token (NFT) di berbagai situs online akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan. Hal ini kian marak setelah foto selfie (swafoto) seorang WNI yang bernama Ghozali laku terjual dengan angka yang sangat besar melalui media OpenSea. Harga yang fantastis untuk karya digital tersebut diklaim sebagai bentuk apresiasi terhadap seni.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengingatkan foto itu, data diri di KTP-el pun dapat dilihat dan dibaca dengan jelas.
“Menjual foto dokumen kependudukan dan melakukan foto selfie dengan dokumen KTP-el di sampingnya untuk verivali tersebut sangat rentan adanya tindakan fraud/penipuan/kejahatan oleh ‘pemulung data’ atau pihak-pihak tidak bertanggung jawab,”katanya.
“Karena data kependudukan “dapat” dijual kembali di pasar underground atau “digunakan” dalam transaksi ekonomi online seperti pinjaman online,” lanjut Zudan.
Ketidakpahaman penduduk tentang pentingnya perlindungan data diri dan pribadi menjadi isu krusial yang harus disikapi bersama-sama oleh semua pihak.
“Oleh karena itu, edukasi kepada seluruh masyarakat oleh kita semua untuk tidak mudah menampilkan data diri dan pribadi di media online apapun sangat perlu dilakukan,” imbuh Zudan.
Baca juga: Berbagai Mainan Tradisional Merambah ke NFT
Berkaitan dengan kegiatan ekonomi online, Zudan mengimbau masyarakat agar lebih selektif dalam memilih pihak-pihak yang dapat dipercaya, terverifikasi dan memberikan jaminan kepastian kerahasiaan data diri, atau pribadi. Sebab, masih banyak lembaga keuangan baik perbankan maupun nonperbankan yang sudah terdaftar pada OJK, mensyaratkan foto KTP-el dan foto selfie mesti diunggah.
Adapun menyoal sanksi juga tidak main-main. Bagi pihak-pihak yang mendistribusikan dokumen kependudukan, termasuk dirinya sendiri yang memiliki dokumen kependudukan, seperti foto KTP-el di media online tanpa hak, maka terdapat ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.
“Hal ini diamanatkan dalam Pasal 96 dan Pasal 96A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan (Atas) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” tandas Zudan.