Channel9.id-Jakarta. Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) menilai rencana pemerintah memperluas program energi hijau dari biodiesel (B30) ke bahan bakar bioethanol E5 hingga E10 perlu dikawal dengan pendekatan yang lebih realistis.
Wakil Ketua Umum DNIKS Rudi Andries menyebut kapasitas produksi nasional bioethanol baru sekitar 300 ribu kiloliter per tahun, padahal kebutuhan untuk program E5–E10 mencapai 3 hingga 6,5 juta kiloliter per tahun.
“Artinya kita baru punya kurang dari 10 persen dari kebutuhan minimum. Tanpa revitalisasi industri dan insentif kebijakan, target E5–E10 masih jauh dari siap,” kata Rudi dalam keterangannya, Selasa (21/10).
DNIKS mengusulkan empat langkah strategis agar program ini bisa berjalan efektif: penyusunan peta jalan bioethanol nasional lintas kementerian, revitalisasi pabrik gula BUMN menjadi kompleks gula–ethanol, pemberian insentif fiskal agar harga ethanol kompetitif, serta pemberdayaan petani melalui koperasi dan dana CSR.
Rudi menegaskan transisi energi hijau tak boleh mengorbankan kebutuhan rakyat kecil. “Jangan sampai program bioethanol justru menekan harga pangan atau mengurangi pasokan bahan pokok. Sebaliknya, bioethanol harus jadi sumber pertumbuhan ekonomi desa,” ujarnya.
DNIKS juga mendorong pembentukan Lembaga Pengelola Bioenergi Sosial (LPBS) di bawah koordinasi pemerintah, yang melibatkan DNIKS dan HKTI, untuk memastikan keseimbangan antara pangan, energi, dan kesejahteraan sosial.
Menurut perhitungan DNIKS, pengembangan bioethanol yang inklusif dapat menciptakan hingga 500 ribu lapangan kerja baru di pedesaan dan menghemat devisa impor Rp70 triliun per tahun.
“Transisi energi hijau hanya akan berkelanjutan jika dikawal dengan keadilan sosial dan kedaulatan pangan,” tutup Rudi.