Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Cobaan apalagi yang menerpa secara global dan juga di negeri kita? Dalam situasi jamak cerita keprihatinan tentang berbagai masalah nasional, masyarakat dipancal panik dengan hadirnya pandemi Covid 19 yang kini mulai reda namun masih terus bermutasi.
Masih ingatkah kita? Jauh-jauh sebelumnya, negeri kita pernah diresahkan dengan adanya ulat bulu dalam jumlah masif. Begitupun flu burung hingga klimaks pada pandemi Covid 19. Kini kita juga masih dihantui adanya wabah-wabah lain seperti cacar monyet dan mutasi-mutasi lainnya. Walau sudah ditandaskan secara penelitian ilmiah bahwa wabah-wabah ini murni fenomena alam. Ada juga pandangan bahwa wabah-wabah tersebut merupakan peringatan bahkan kutukan dari Tuhan kepada umatnya agar melakukan introspeksi diri. Secara bisik-bisik bahkan juga gahar yang diviralkan di internet, muncul pula spekulasi bahwa pandemi seperti Covid 19 hasil dari ‘konspirasi global’ artinya sengaja dibuat dan disebar untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga tersiar suasana teror. Suara-suara seperti ini terutama saat awal-awal Covid 19 mulai mengganas dan membuat masyarakat seakan ‘terpolarisasi’ oleh cara pandang individual maupun kolektif.
Situasi ini harap maklum bila kita galau dalam memahami berbagai prahara yang mewarnai negeri kita. Wabah masih mengancam dan dengan intensitas, bentuk dan daya rudaknya. Kita masih ingat munculnya tengara terjadinya kasus wabah flu burung sebagai penyakit hasil buatan manusia untuk kepentingan tertentu. Di negeri kita bahkan dituduhkan bercokol laboratorium asing dan laboratorium biologi yang mudah diakses agen intelijen asing. Kabarnya pula dihembuskan bahwa wilayah Jakarta dan sekitarnya akan menjadi laboratorium raksasa percobaan bioterorisme. Tak berlebihan bila muncul prasangka bahwa laboratorium-laboratorium ini bisa saja membiakkan mikro organisme agen biologi untuk senjata biologi.
Baca juga: Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Berjalan Paralel
Saat ini, ada empat isu besar yang “mewabah” secara mondial, yaitu terorisme, krisis energi, krisis pangan dan krisis ekologi. Soal terorisme, telah begitu membuat dunia panik. Di negeri kita terorisme masih juga menjadi ancaman yang setiap saat bisa meledak mengingat masih bejibunnya sel-sel teroris yang menggeliat. Krisis energi makin digoyang dengan merangkaknya harga minyak dunia akibat krisis perang Rusia dan Ukraina serta mungkin juga di Timur Tengah sehingga melahirkan “perang energi”. Harga BBM menjadi membubung dan akhirnya naik pula harganya di negeri kita. Krisis pangan juga mewujud dalam “momok” yang menegangkan, akibat gagal panen, perubahan iklim ataupun lemahnya kebijakan pangan nasional. Tak kalah dahsyat adalah krisis ekologi yang telah menjadi paceklik yang mencemaskan bagi masyarakat dunia. Kerusakan alam terlebih dengan terbitnya fenomena perubahan iklim makin menyingkapkan betapa alam telah beralih rupa samsara akibat polah tingkah manusia mengeksploitasi alam. Stephen Hawking bahkan pernah mengingatkan agar manusia siap-siap untuk pindah ke planet lain, oleh karena bumi sudah mengalami kerusakan secara tragis.
Agama dan Sains
Pada masa lalu, ketika agama-agama menjadi penguasa semua informasi tentang kehidupan dan kematian, dan bersamaan dengan itu pemimpin agama memiliki kekuasaan tak terbendung untuk memerintah dan menghukum, seruan sekusut apa pun dari pemuka agama akan diterima sebagai kebenaran.
Naum seiring waktu, sejarah manusia membuktikan bahwa informasi adalah sumber kekuatan, juga sumber kekuasaan. Di masa ketika seorang pemimpin dipilih dengan prinsip primus inter pares atau yang paling unggul di antara sesamanya, penguasa informasi selalu menempati posisi tinggi di dalam masyarakat. Manusia menghargai dukun dan shaman sebab mereka dianggap menguasai informasi dari sumber yang tak bisa dijangkau oleh kebanyakan orang. Mereka menguasai informasi dari langit atau dari makhluk-makhluk gaib.
Dari abad ke abad, wabah adalah ketidakpastian. Juga sekarang. Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan. Ini seperti sudah ditahkikkan oleh filsuf Karl Popper bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah kebenaran bukan kepastian. Agama berkutat dengan kebijaksanaan, sementara sains berkutat dengan kebenaran.
Agama dan sains kerap dihadap-hadapkan. Itu tidak realistis. Sains tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari peran agama, sekurangnya secara historis. Max Weber pernah bertanya, kenapa sains modern berkembang di Barat dan tidak di India? Karena monoteisme menyumbang untuk menghadapi alam bukan sebagai hal gaib, melainkan sebagai materi yang bisa ditangani. Menolak berhala adalah awal materialisasi alam dalam monoteisme.
Abad (Perang) Biologi?
John Neisbit dan Patricia Aburdence dalam bukunya Megatrends 2000 (1990) pernah memprediksi bahwa abad 21 merupakan abad biologi. Temuan-temuan biologi akan bermunculan dan menjadi kebutuhan manusia. Namun, seperti halnya pisau, sains bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Bahkan ilmuwan bisa menciptakan virus berbahaya bagi manusia demi tujuan negatif. Inilah bioterorisme sebagai bentuk sabotase lewat bahan-bahan biologis dengan tujuan untuk menimbulkan kerusakan massal. Agen biologis yang paling umum digunakan sebagai senjata teror adalah mikroorganisme dan racun-racunnya yang dapat digunakan untuk menimbulkan penyakit atau kematian pada populasi penduduk, binatang dan tanaman.
Bioterorisme adalah masalah besar sepanjang sejarah manusia. Ambil contoh kisah senjata biologis yang digunakan di front Eropa Timur pada perang dunia II. Dalam bukunya Biohazard (1999), Ken Alibek mengungkapkan bahwa Uni Soviet telah menggunakan kuman yang mengakibatkan penyakit tularemia pada unit Angkatan Bersenjata Jerman saat pertempuran Stalingrad tahun 1942. Gejala dari penyakit ini adalah sakit kepala, mual dan demam tinggi yang dapat menyebabkan kematian bila tidak dirawat. Jerman juga mengembangkan senjata biologis, walau hanya terbatas untuk sabotase ekonomi dan pertanian. Dalam skala yang terbatas, Nazi melakukan percobaan senjata biologis pada tahanan di kamp konsentrasi Aushwich, Polandia.
Kasus lain bioterorisme ditulis oleh Daclan Hayes dalam buku Japan the toothles tiger, a provocative look at Japan’s expanding role in the future of Asia (2001) dilakukan oleh unit 731 di Manchuria, China bagian utara. Unit 731 adalah salah satu organ dari tentara kekaisaran Jepang yang dibentuk untuk melapangkan jalan bagi Jepang untuk menjajah China. Diperkirakan ada sekitar 3000 warga China, Korea dan sekutu yang tewas dalam eksperimen unit 731. Direktur unit 731 adalah Shiro Ishi, seorang dokter yang ahli bakteriologi mengembangkan kuman patogen seperti anthrax.
Beruntung telah ada konvensi pertama untuk melarang penggunaan senjata biologis yang ditandatangani di Jenewa pada tahun 1925. Kemudian, di tahun 1972, dibawah kepemimpinan PBB, 103 negara menandatangani konvensi mengenai senjata biologis yang isinya melarang pengembangan, produksi, penumpukan dan penggunaan senjata biologis. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk melenyapkan secara sepenuhnya kemungkinan dari penggunaan agen biologis dan racunya sebagai senjata pemusnah masal.
Memperlakukan Alam
Sinyal-sinyal bioterorisme bisa membelalakkan kewaspadaan bagi kita. Namun, di luar itu yang harus lebih kita waspadai adalah masalah krisis lingkungan. Munculnya wabah seperti Covid 19 dan lainnya makin menyadarkan betapa mendesaknya kita merawat lingkungan. Manusia kadang tidak adil menilai dan memperlakukan alam. Alam dengan segala kekayaan biotik dan abiotiknya dieksplorasi secara membabi-buta. Jika akhirnya terjadi bencana alam yang merugikan manusia, alam juga yang menjadi kambing hitam. Berbagai bencana alam seperti dulu terjadi serangan kelelawar di Kolaka Sulteng dan serangan ulat bulu, pada akhirnya alam juga yang dipersalahkan.
Cuaca ekstrem yang disinyalir sebagai penyebab membludaknya reproduksi wabah dan terganggunya siklus metamorfosis adalah salah satu bentuk pengambinghitaman alam. Seperti kita belajar dari kasus wabah ulat bulu yang dulu kabarnya bisa menghabiskan daun satu pohon dalam semalam. Namun bukankah manusia tega dan mampu menghancurkan ribuan pohon dalam semalam dengan cara menebang pohon tanpa memperhitungkan ketentuan umur atau diameternya?
Kita bisa katakan bahwa serangan wabah betapapun dahsyatnya hingga membuat berguling-guling ekonomi dan ranah hidup lainnya, tidaklah kalah hebat efeknya juga soal pembabatan hutan. Ribuan pohon tumbang, ekosistem hutan rusak, gas sisa pembakaran hutan menyebabkan kekacauan struktur atmosfer sehingga berdampak pada pemanasan global dan memicu terjadinya cuaca ekstrem. Selain itu, manusia telah merusak rangkaian rantai makanan dalam ekosistem.
Cerita alam tentang wabah hanyalah sebagian kecil bukti bahwa manusia makin jumawa sehingga merampas keikhlasan alam secara berlebihan, tidak untuk sekadar makan tapi juga kesenangan, kemewahan dan keserakahan. Pohon-pohon ditebang dan hutannya dibakar habis, ribuan satwa dipaksa hidup dalam sangkar atau dibunuh untuk diambil kulit, tanduk dan gadingnya, serta minyak dan mineral bumi dieksplorasi meninggalkan lubang merana dan tanah tandus. Bukanlah amarah alam, sebab alam hanyalah menjalankan proses selayak manusia yang selalu menggali titik ketidakseimbangannya.
Kini, tak ada kata terlambat untuk kembali hidup selaras dengan alam, sehingga terjalin harmoni saling mencukupi. Bukankah manusia sejatinya hanya menuruti kebutuhan akan makanannya untuk melanjutkan hidup? Jika demikian, bukankah sudah cukup apa yang diberikan oleh alam dalam keseimbangannya? Wabah—betapapun ada ‘sisi lain” yang perlu ditelisik—alangkah lebih bijak dimaknai sebagai “otokritik” bagi manusia untuk selalu berdekapan dengan alam melalui perlakuan yang bijak bestari, adil dan humanis terhadap segala unsur alam yang telah menjadikan alam begitu indah dan bermanfaat.
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)