Channel9.id-Jakarta. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi penyebab utama inflasi di dunia saat ini. Indonesia sendiri mengalami inflasi sebesar 5,95 persen. Menyoal hal ini, ekonom Faisal Basri mencatat bahwa dampak kenaikan harga BBM bagi Indonesia jauh lebih rendah daripada kenaikan sebelum-sebelumnya.
“Harus saya katakan, kenaikan harga BBM sekarang dampaknya jauh lebih rendah daripada kenaikan di sebelumnya,” tuturnya pada Oktober lalu di kanal YouTube Asumsi.co.
Ia menjelaskan, pada November 2014 lalu, harga BBM dinaikkan oleh Presiden Joko Widodo dan ini menyebabkan inflasi hingga 18 persen.
“Setelah itu, inflasi tak pernah terjadi di bawah 3 persen. Sekarang cuma 5 persen, tapi ini bukan mengenggap remeh, ya. Artinya, kita harus bersyukur sekarang kita masuk ke era inflasi yang lebih rendah,” tandas dia.
Faisal mengatakan bahwa sejumlah kebijakan pemerintah telah membantu menghadapi inflasi. Misalnya, selama pandemi COVID-19, pemerintah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tanpa agunan. “Ada juga restrukturisasi kredit, pembebasan bunga sebagian, penghapusan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil, dan sebagainya,” lanjutnya.
Perihal kenaikan harga barang yang sedang marak, ia tak memungkiri bahwa pemerintah seharusnya melakukan perubahan harga secara gradual. Bukan tiba-tiba menaikkan harga secara tajam.
“Pemerintah tak sanggup bayar subsidi sehingga BBM ditahan, lalu harganya dinaikkan secara tajam. Ini yang membuat rakyat syok dan kesal,” pungkasnya.
Lebih jauh, Faisal mengatakan peluang resesi yang mungkin berdampak bagi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa apabila ekonomi dunia “nyungsep”, ekonomi Indonesia juga akan turun namun melandai. Pasalnya, kata dia, “’engagement’ Indonesia dengan ekonomi dunia relatif kecil.”
Faisal memaparkan sejumlah contohnya. Pertama, Indonesia lebih banyak melakukan ekspor. Ekspor dan impor terhadap Gross Domestic Product (GDP) hanya sekitar 50 persen. “Bandingkan dengan Singapura yang GDP-nya itu 300 persen,” lanjutnya.
Selain itu, sektor keuangan di Indonesia tak mengenal “yang canggih-canggih, ‘toxic asset’ yang memicu ‘bubble’.” Untuk diketahui, “toxic asset” mengacu pada aset keuangan yang nilainya bisa turun secara signifikan, sehingga aset ini tak bisa bisa dijual dengan harga yang bisa memuaskan pemiliknya.
Lalu sektor keuangan di Indonesia sekarang, sebut Faisal, tak begitu bergantung pada investor asing. Ia menambahkan investor lokal sekarang lebih cerdas.
“Misalnya, di stock market dulu bisa antara 50 atau 60 persen itu investor asing. Sekarang, investor asingnya cuma 32 persen,” jelasnya. “Waktu dulu, perilaku investor begini: kalau investor asing jual, investor lokal ikutan. Sekarang, investor kita semakin verdas. Beda dengan dulu di inflasi 2008-2009, orang nggak melek pasar saham.”
Lalu hutang pemerintah, baik dalam surat hutang mata uang asing maupun rupiah, kini tinggal 16%. “Dibandingkan dengan 2008-2009, itu hampir 40 persen,” imbuhnya.