Channel9.id, Jakarta – Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, menekankan pentingnya pemerintah menyajikan data yang lebih rinci terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk data resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Menurutnya, hal ini krusial untuk mengetahui kondisi riil di lapangan, terutama nasib pekerja yang terkena PHK.
Saparini mencontohkan laporan BPS yang mencatat jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 83.000 orang pada Februari 2025, sehingga totalnya mencapai 7,28 juta orang. Namun, sumber penambahan ini tidak jelas. “Apakah lonjakan pengangguran ini akibat PHK? Data BPS belum menjawab,” ujarnya dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, dikutip Senin (4/8/2025).
Ia menambahkan, sebagian pekerja yang terkena PHK mungkin sudah beralih menjadi wirausaha sehingga daya beli mereka tetap terjaga. “Kalau mereka pindah ke industri digital dan konsumsinya masih kuat, aman. Tapi kalau konsumsi rumah tangga justru turun, itu masalah,” jelasnya.
BPS mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I/2025 hanya 4,89% (yoy), melambat dibanding kuartal IV/2024. Saparini menegaskan, kemudahan akses data akurat sangat penting agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat.
Ia juga menyoroti pergeseran pola konsumsi masyarakat miskin yang tidak bisa lagi diukur hanya dari pemakaian listrik 450 VA. “Sekarang, berapa banyak rumah tangga miskin yang tetap pakai 450 VA? Banyak yang sudah tak cukup,” katanya.
Selain itu, Saparini mempertanyakan kejelasan data terkait 65 juta unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Ia menilai data seharusnya lebih detail, seperti jenis usaha, sektor, hingga skala bisnis. “Kalau pemerintah hanya merata memberikan modal berdasarkan angka itu, belum tentu tepat sasaran. Masalah UMKM bukan cuma modal,” ujarnya.