Oleh: Ferdy Hasiman*
Channel9.id-Jakarta. Presiden Jokowi tak perlu takut menghadapi gugatan negara-negara Eropa (Uni-Eropa)ke World Trade Organization (WTO) terkait pelarangan ekspor nikel Indonesia yang mulai berlaku sejak bulan Oktober, 2019. Langkah presiden Jokowi menyiapkan Lawyer terbaik patut kita dukung bersama untuk mengahadapi kekuatan besar ini. Keberanian presiden akan didukung seluruh rakyat.
Indonesia adalah negara berdaulat. Pelarangan ekspor nikel dan mineral lainnya memiliki rujukkan hukum sangat kuat. UU No.4 Tahun 2009, tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menjadi dasar hukum kita untuk berargumentasi secara hukum di WTO.
UU Minerba memerintahkan semua perusahaan tambang yang sudah berproduksi wajib membangun pabrik smelter (pabrik pengolahan) dalam negeri agar memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Semua perusahaan tambang harus taat hukum Indonesia.
Di industri nikel, dengan kebijakan itu, kita tidak lagi menjual nikel ore (biji nikel) dalam bentuk mentah (harganya sangat rendah), tetapi harus diolah ke pabrik smelter, seperti Nickle Pig Iron (NPI/10% nilai tambah) atau Nicke inmate (15%). Dengan itu harga nikel menjadi lebih besar atau 17 kali lebih besar dibandingkan kita menjual biji nikel mentah. Penerimaan negara juga meningkat dan pekerja tambang juga tidak hanya mengandalkan buruh tambang yang hanya untuk menggali, tetapi tenaga terampil dan sarjana-sarjana pertambangan. Dengan UU Minerba, paradigma tambang kita beralih dari menjual bahan tambang dalam bentuk bahan mentah menuju industry pengolahan.
Bagi dunia, kebijakan pemerintah kita terkait larangan ekspor mineral mentah Indonesia akan ikut mempengaruhi industri tambang secara global. Ini karena peran Indonesia sebagai salah satu pemasok utama dunia.
Gugatan Uni Eropa ini masuk akal, karena mereka yang paling terpukul dengan kebijakan larangan ekspor nikel. Nikel Indonesia berkontribusi 32 persen terhadap nikel dunia.
Eropa sekarang mulai mendorong mobil listrik dengan tulang punggung nikel kalori rendah (1.8%) dan mengandalkan bahan mentah dari Indoesia. Presiden tak boleh mundur lagi, karena pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan mendorong pengembangan mobil listrik dengan bahan baku dari nikel untuk pembangunan baterei.
Indonesia harus mengamankan pasokan nikel. Tidak masuk akal jika pemerintah mendorong pengembangan mobil listrik untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil jika tidak mengamankan pasokan nikelnya. Berhenti mengekpor nikel mentah adalah langkah strategis untuk mengamankan industri nasional.
Pelarangan ekspor mineral, nikel, tembaga, bauksit dan batubara sebenarnya sudah dimulai sejak tanggal 14, Januari 2014. Namun, pemerintah melunak karena banyak perusahaan tambang merugi dan mengancam merumahkan karyawan.
Selain itu ada ketakutan dari pemerintah, defisit neraca perdagangan meningkat. Padahal, itu hanya ancaman jangka pendek. Jika sejak tahun 2014 pemerintah konsisten menerapkan kebijakan pembangunan smelter, penerimaan negara pasti akan meningkat drastis dan industri nikel mengalami perbaikan berarti. Sampai sekarang baru 30 persen perusahaan yang sudah membangun smelter.
Jumlah fasilitas smelter yang sedang dibangun baru sebanyak 71 smelter; 35 pabrik nikel, 6 pabrik bauksit, 8 pabrik besi, 3 pabrik mangan, 11 pabrik zircon, 4 pabrik seng dan 4 pabrik zeolite. Outlook Report Wood Mackenzie edisi 21 Desember 2016 menyebutkan bahwa dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia akan meningkat dari peringkat 4 di dunia pada tahun 2015 menjadi peringkat 3 pada tahun 2016. Jika laju pembangunan smelter dipertahankan seperti saat ini, Indonesia diperkirakan mencapai tingkat pertama di dunia pada tahun 2019.
Untuk itu, Presiden Jokowi tak boleh melunak lagi dengan cara membuka keran ekspor (relaksasi mineral) hanya karena ada tekanan dari Uni Eropa.Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan industry nikel, lingkungan dirusak dan deforestasi tak terhindar. Selain itu, di sektor mineral, Indonesia dikenal sebagai negeri pengekspor terbesar di dunia.
Tahun 2012 misalnya,ekspor nikel dari pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP ) sebesar 41 juta ton naik hampir 2000 persen dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai 91.000 ton. Ini harus dikontrol ketat.
Sepanjang tahun 2013 dan 2014, saya menyaksikan sendiri berton-ton bijih mentah diangkut tanpa pengawasan ke belasan kapal berbendera asing yang bertaburan tidak jauh dari “pelabuhan” yang saat itu bertebaran di berbagai titik di Sulawesi bagian tengah dan tenggara. Saya melihat sendiri kalau pengiriman “tanah” tersebut dilakukan siang-malam tanpa henti, dan sama sekali tidak memperhatikan good mining practices’.
Presiden Jokowi pun saat meresmikan sebuah pabrik smelter di Morowali, Sulawesi Tengah, pada akhir Mei 2015 lalu menegaskan, “Jangan ada lagi bahan mentah yang langsung dikirim ke luar negeri.”
Jokowi waktu itu mengatakan, harus ada nilai tambah untuk daerah dan untuk lingkungan daerah. Presiden membandingkan keuntungan yang didapat dari pengiriman bahan setengah jadi yang hanya AS$30 per metrik ton dibandingkan produk setengah jadi yang harganya menjadi AS$1.300 per metrik ton. Nilai tambah ini besar sekali.
*Peneliti Alpha Research Database indonesia