Rahmat Edi Irawan, Independensi Jurnalis
Opini

Fenomena Berkurangnya Independensi Jurnalis di Indonesia

Oleh: Dr. Rahmat Edi Irawan, S.Pd., M.IKom

Channel9.id-Jakarta. Berkurangnya independensi jurnalis di Indonesia menjadi fenomena yang menarik untuk diamati dalam beberapa tahun terakhir? Muramnya bisnis media di dunia dan Indonesia, membuat keteguhan jurnalis untuk tetap mengedepankan prinsip-prinsip independensi yang mulai goyah. Belum lagi penggunaan artificial intelligence (AI) dalam kerja-kerja jurnalis, bisa jadi justru mengurangi independensi seorang jurnalis.

Sebelum kita melihat fenomena perkembangan independensi jurnalis, ada baiknya kita membahas sedikit terlebih dahulu tentang pengertian independensi jurnalis itu sendiri. Seperti kita ketahui netralitas media dan jurnalis, menjadi salah satu modal yang harus dimiliki media atau press di bagian dunia manapun. Dengan netralitas, maka suara yang disampaikan media dan wartawan adalah benar-benar untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan sekadar suara pemerintah atau kepentingan sekelompok orang tertentu. Nah, tentu untuk bisa netral dalam menyuarakan kepentingan masyarakat banyak, maka jurnalis haruslah independen. Independensi jurnalis menjadi syarat utama bagi mereka untuk tidak terikat, tidak takut atau tidak ragu-ragu dalam membuat karya jurnalistik yang benar sesuai fakta dan tentu saja untuk kepentingan masyarakat banyak tadi.

Lalu jika ada pertanyaan, seberapa besar pengaruh independensi jurnalis terhadap berita yang mereka buat, tentu jawabannya adalah sangat besar atau mungkin bisa dikatakan sebagai sesuatu kemutlakan. Tidak akan mungkin ada berita yang netral dan sesuai dengan kepentingan masyarakat banyak, jika wartawan terikat atau di bawah relasi kuasa yang kuat oleh kekuatan atau kepentingan pemerintah atau sekelompok orang tertentu. Bahkan, bisa dikatakan jurnalis yang terikat atau di bawah relasi kuasa yang kuat oleh kekuatan atau kepentingan pemerintah atau kelompok orang tertentu hanya membuat berita-berita pesanan dari mereka yang berada di atas dalam relasi kuasa si jurnalis tersebut.

Tentu saja banyak faktor yang menyebabkan independensi jurnalis menjadi berkurang. Selama ini kita melihat faktor eksternal sebagai penyebab berkurangnya independensi jurnalis. Misalnya tekanan yang dilakukan pemilik modal atau perusahaan media yang kebetulan juga berkecimpung dalam ranah politik atau bisnis. Fenomena yang paling gampang diamati dan dicari contohnya di Indonesia. Tekanan boss-boss media massa, adalah hal umum yang sering dianggap sebagai penyebab utama berkurangnya independensi jurnalis. Faktor pemerintah atau penguasa politik, juga menjadi fenomena yang sering terjadi di Indonesia, sebagai penyebab jurnalis tidak independen dalam membuat berita. Namun, ada juga faktor-faktor yang berasal dari dalam diri jurnalis itu sendiri. Ketidakmampuan mengasah kemampuan professional kerja wartawan dan ketidakpatuhan pada etika jurnalistik, membuat independensi jurnalis menjadi berkurang atau mengalami degradasi.

Pihak pemilik modal atau pemerintah, memang kerap dituding menjadi penyebab berkurangnya independensi jurnalis. Jika pemilik modal dengan relasi kuasa langsung atas sumber pendapatan jurnalis menyebabkan tidak independennya jurnalis, pemerintah melalui alat kuasa, juga menjadi pihak yang mendegradasi independensi jurnalis. Ketakukutan akan diproses hukum atau ancaman fisik secara langsung, bisa jadi menyebabkan jurnalis sulit untuk independent.  Namun dalam catatan penulis, masyarakat juga menjadi pihak yang bisa mengurangi independensi jurnalis. Banyak ormas atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang kurang suka dengan berita yang dibuat jurnalis melakukan pengancaman, sehingga jurnalis menjadi takut bersikap indenpenden.

Jika melihat pihak-pihak yang bisa mengancam independensi jurnalis seperti disebutkan di atas, maka tidak heran, jika memburuknya bisnis media dalam satu hingga dua dekade terakhir, akan bisa mengurangi independensi jurnalis. Saat kesulitan keuangan melanda media massa, tentu saja pemilik dan pengelola perusahaan media akan melakukan berbagai langkah penyelamatan medianya. Mereka tentu saja akan lebih mengutamakan upaya untuk mendapatkan revenue dan mengurangi beban pengeluaran. Berita-berita pesanan dan advertorial, akan diperluas dan diperbanyak, karena itu adalah penghasilan yang masih bisa digali di balik seretnya pendapatan iklan. Sayangnya, model berita-berita pesanan dan advertorial sedikit banyak akan mengurangi indenpendensi jurnalis. Banyak rambu-rambu yang akhirnya membentengi independensi jurnalis, karena berbenturan dengan kepentingan-kepentingan perusahaan atau pihak yang bekerjasama dengan media mereka. Di layar kaca, kita juga melihat bagaimana program-program blocking atau berita-berita pesanan, nyaris menghiasi televisi nasional kita setiap hari. Ironisnya, program-program yang selama ini dianggap sebagai karya jurnalistik terbaik di televisi, termasuk program-program dokumenter dan investigasi yang dianggap sebagai produk unggulan jurnalistik, juga dimasuki program blockingan dan berita-berita titipan, yang tentu pada akhirnya berdampak pada independensi jurnalis.

Sementara berkurangnya pendapatan perusahaan media, juga dibarengi dengan ketidakmampuan mereka untuk memberikan renumerasi yang sehat untuk jurnalisnya. Banyak perusahaan media melakukan pemutusan hubungan kerja dengan sebagian jurnalis yang bekerja di perusahaan media, dan melakukan cara murah dan mudah dalam bisnis media, yaitu dengan menggantikan sebagian kerja jurnalis dengan penggunaan AI. Akhirnya jurnalis yang tersisa hanya mengerjakan bahan-bahan jahitan atau finishing dari data mentah atau reportase dari sumber AI. Kondisi inilah yang sebenarnya justru membuat kemungkinan independensi jurnalis menjadi berkurang, karena dia tidak mendapatkan informasi sumber pertama dari lapangan, dan hanya mengambil dari AI yang tentu sudah merupakan persepsi data-data yang masuk dan dianalisis oleh AI semata.

Di sisi jurnalis, berkurangnya penghasilan dari tempat mereka bekerja terkadang membuat mereka memborong bekerja sebagai kontributor beberapa perusahaan media atau content creator. Jadi Ketika mereka memburu narasumber atau melakukan tugas reportase, nantinya mereka akan mendistribusikan berita atau liputannya ke berbagai media massa atau content creator. Nah disinilah masalahnya akan muncul, karena semakin banyak media massa dan content creator yang melibatkan dirinya membuat semakin sedikit juga ruang independensi yang dimiliki jurnalis tersebut. Jika sebuah perusahaan media massa atau content creator punya kebijakan redaksi atau ketentuan yang harus dipatuhinya, maka jelas pada ujungnya semakin sulit sang jurnalis menerapkan independensinya terhadap produk jurnalis yang dibuatnya.

Sejak setahun lalu, tepatnya pada 20 Pebruari 2024, pemerintah telah mengeluarkan Perpres Publisher Rights yang mewajibkan aggregator untuk membayar sejumlah harga tertentu terhadap produk-produk jurnalistik yang mereka ambil dari media-media massa. Di satu sisi, tentu itu menjadi kabar baik yang akan melindungi produk jurnalistik dari tindakan semena-mena pihak-pihak yang mengambil karya tersebut tanpa izin dan hanya keuntungan semata-mata dari pihak yang mengupload ulang karya jurnalistik tersebut di platform mereka. Namun di sisi yang lain, kita jangan sampai terjebak jurnalis nantinya hanya mengejar model konten-konten yang selalu atau sering diunggah ulang platform-platform lain yang memberikan mereka atau perusahaan media mereka tambahan penghasilan. Jika itu yang terjadi, tentu indenpendensi jurnalis akan berkurang dengan sendirinya, karena selalu menyesuaikan berita yang mereka buat dengan yang laku di platform-platform lainnya tersebut.

Tentu tidak ada yang sempurna, apa lagi melawan perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan dalam cara  manusia mengkonsumsi media dan model bisnis media saat ini. Untuk itu, langkah jurnalis mempertahankan independensinya menjadi fenomena yang menarik untuk diamati. Apakah jurnalis di Indonesia masih punya nafas panjang untuk mau dan mampu mempertahankan independensinya? Apakah jurnalis Indonesia akan mengambil sikap pragmatis, menerima kemajuan teknologi komunikasi dan model bisnis media, untuk mengurangi atau menghilangkan independensinya. Kita masih perlu waktu, untuk mengetahui jawaban-jawaban pertanyaan tersebut. Namun yang pasti, saat ini kita tengah berada di era transisi, di mana kita belum menemukan sebuah keajegan atas kehidupan industri media yang sehat sesuai dengan era atau jamannya.

Lalu dari sisi masyarakat, adakah yang bisa kita perbuat untuk membantu jurnalis mempertahankan independensinya? Tentu saja bisa dan akan memberikan peran yang sangat signifikan. Kita harus terus melihat bagaimana kecenderungan pemberitaan-pemberitan media massa kita, apakah semangat indepensi mereka masih terlihat jelas? Jika masih terlihat, kita harus berempati dan memberikan dukungan, agar karya-karya jurnalis yang seperti itu masih terus dipertahankan. Namun jika sudah memudar, maka kita perlu menyuarakan juga di berbagai platform yang ada, betapa pentingnya independensi jurnalis ditegakkan dan dijalankan. Kita juga perlu mengambil inisatif, apakah perlu ada perubahan regulasi atau perbaikan dalam sistem pers kita yang perlu dikoreksi untuk kembali meningkatkan indepedensi jurnalis di masa mendatang.

Baca juga: Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 Meningkat, Wartawan Masih Khawatir

*Dosen Mass Communication Binus University

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8  +  1  =