Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Berdasarkan dakwaan Jaksa, Jessica yang telah memasukkan sedotan kedalam cangkir kopi Wayan Mirna. Sehingga sedotan dijadikan alat yang misteri untuk mengungkap kepergian Mirna. Kuasa Hukum Jessica berkilah sianida yang ditemukan dalam tubuh Jessica ketika di otopsi adalah akibat proses pembusukan yang jumlahnya tidak mematikan. Namun akhirnya hakim memvonis 20 tahun penjara untuk Jessica.
Kita tidak akan menilai apakah keputusan hakim sudah benar atau tidak. Tapi menarik untuk mencermati tentang hak kebebasan hakim dalam membuat vonis atas dasar keyakinan.
Kasus kematian Mirna yang diduga karena diracun sianida. Benar-benar ajang teknologi dan sains. Apa pasal? Karena yang jadi alat bukti adalah pendapat ahli saja. Sementara Jessica sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya. Semua ahli yang dihadirkan jaksa maupun pengacara bukan kaleng-kaleng. Hebat semua. Tentu hebat untuk kepentingan subjektif. Belum lagi publik mulai berasumsi dengan macam macam. Bahkan cerita semakin liar soal hubungan sejenis antara Mirna dan Jessica.
Separuh perjalanan sidang yang digelar berkali-kali, sebenarnya skor untuk Jessica udah diatas angin. Kemungkinan bebas. Apalagi pengacaranya memang bukan orang biasa. Otto Hasibuan dan Hotman Paris Hutapea. Namun pada jadwal sidang mendengarkan keterangan ahli Digital Forensik Puslabfor Mabes Polri, AKBP Muhammad Nuh Al Azhar, saat itu sikap tenang dan diam yang biasa diperlihatkan Jessica tidak nampak lagi.
Jessica yang duduk sebagai pesakitan, terlihat banyak berbicara dengan pengacaranya, Otto Hasibuan. Tangannya pun sibuk membuka halaman berkas yang ada di depannya. Jessica lupa saat itu sikapnya sedang diperhatikan hakim dengan seksama. Benar saja, Jessica mengatakan keberatan dengan keterangan Nuh. “Banyak yang saya keberatan yang mulia,” ujar Jessica saat ditanya Hakim Ketua Kisworo di persidangan. Namun, Jessica enggan merinci poin mana saja yang tidak dapat ia terima. Keberatan ini akan disampaikan dalam persidangan berikutnya. “Akan saya jelaskan pada saat saya diperiksa,” ucap dia singkat.
Nah, dipersidangan berikutnya Jessica jelaskan alasan keberatannya. Jessica sebelumnya selalu mengelak mengerti komputer atau IT. Kalau sekarang dia berpendapat, itu logika saja. Namun Jessica lupa, hakim sedang fokus kepada kebenaran sikap Jessica selama ini. Maka pertanyaan tidak lagi kepada sanggahannya. Hakim memuji kecerdasan Jessica. Saat itulah Jessica terpancing tentang pekerjaannya bidang komputer. Posisinya ketua team. Dia lulusan Billy Blue College of Design Torrens University, Australia.
Atas dasar itulah Hakim berkeyakinan bahwa pendapat ahli yang simpang siur soal alat bukti rekaman CCTV, itu bagian dari rencana Jessica sendiri. Untuk mengaburkan bukti perbuatannya. Berdasarkan bukti selama 32 kali persidangan, hakim merangkai itu semua sebagai sebuah keputusan memvonis Jessica dengan hukuman 20 tahun. Andaikan Jessica tidak menyanggah soal digital forensik mungkin ending drama pengadilan akan lain.
Kematian Brigadir J, tidak beda. TKP sudah rusak atau tidak lengkap lagi. Semua saksi yang ada di TKP tidak ada yang mengaku melihat aksi tembak menembak itu kecuali pelaku. Sementara pelaku hanya dipersangkakan pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP bukan sebagai pelaku utama, diduga ada doenpleger dan dader, atau ada pleger dan medepleger. Kalau CCTV di rumah tidak ditemukan. Maka kalau nanti sidang terhadap pelaku utama atau (kalau ada) di pengadilan akan ada perang teori ahli forensik antara kubu terdakwa (pengacara) dan kubu jaksa. Ini pasti seru.
Semua tergantung kepada keyakinan Hakim. Itulah sistem hukum kita. Mari sabar menanti proses penyidikan yang berlangsung, Kapolri pasti profesional.
*Lapeksi