Channel9.id, Jakarta – Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, menyerukan agar mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan administratif yang menyebabkan empat pulau kecil di Aceh sempat tercatat sebagai wilayah Sumatera Utara selama lebih dari satu dekade.
“Irwandi Yusuf perlu dimintai penjelasan. Ini bukan soal menyalahkan, tapi soal tanggung jawab terhadap sejarah administrasi wilayah Aceh,” tegas Hamid saat tampil sebagai narasumber dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC), Rabu malam (18/6/2025).
Pernyataan itu muncul di tengah kabar kembalinya empat pulau—Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang—ke dalam administrasi resmi Provinsi Aceh, setelah sebelumnya tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Keputusan final dari Pemerintah Pusat diumumkan pekan ini, menyusul revisi data wilayah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berdasarkan arahan langsung Presiden RI Prabowo Subianto.
Berdasarkan penelusuran Kemendagri, akar persoalan bermula pada tahun 2008, saat Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf tidak mencantumkan keempat pulau dalam laporan geospasial yang dikirim ke pusat. Hal ini membuat sistem Kemendagri secara otomatis mengacu pada data yang diajukan oleh Pemerintah Sumatera Utara.
“Kesalahan administratif itu berakar dari laporan data geospasial yang tidak lengkap dari Pemerintah Aceh waktu itu,” ujar sumber internal Kemendagri yang enggan disebutkan namanya.
Sebaliknya, Pemprov Sumut mencantumkan pulau-pulau tersebut dalam batas wilayah Tapanuli Tengah, dan secara sistematis diakomodasi oleh sistem Kemendagri. Situasi ini menimbulkan ketegangan dan keresahan masyarakat di Kepulauan Banyak, Aceh Singkil, yang secara historis dan sosial memiliki keterikatan kuat dengan Aceh.
Kini, dengan terbitnya keputusan Presiden yang mengembalikan status pulau-pulau tersebut ke pangkuan Aceh, Pemerintah Provinsi tengah mempersiapkan transisi administratif, mulai dari pemetaan ulang, pendataan penduduk, hingga pemulihan layanan dasar.
“Kita bersyukur. Ini bukan sekadar soal batas, tetapi juga soal harga diri dan kedaulatan,” ujar anggota DPRA dari Aceh Singkil, Tgk. Rasyid Baharuddin.
Namun di balik kegembiraan, kritik tajam bermunculan. Selain Hamid Awaluddin, sejumlah aktivis dan tokoh sipil menyoroti lemahnya pengelolaan data wilayah oleh Pemerintah Aceh di masa lalu, yang berujung pada hilangnya klaim atas wilayah strategis.
Irwandi Yusuf sendiri merupakan tokoh penting dalam proses perdamaian Aceh pasca-konflik. Sebagai eks kombatan GAM, ia sempat ditahan sebagai tahanan politik namun kemudian dibebaskan menyusul penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki tahun 2005. Ia kemudian mencalonkan diri dan terpilih sebagai Gubernur Aceh periode 2007–2012, menjadi simbol transformasi dari gerakan perlawanan bersenjata ke politik demokratis.
Kasus pulau ini kini menyeret kembali namanya ke ruang publik, dalam sorotan soal kelalaian administratif masa jabatannya. Bagi banyak pihak, kasus ini menjadi pengingat bahwa ketidakcermatan dalam tata kelola wilayah bisa berdampak serius, bahkan mengubah peta kedaulatan daerah. Evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan masa lalu dinilai penting agar kesalahan serupa tidak terulang di masa depan.