Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengecam perbuatan oknum guru salah satu pesantren di kota Bandung, yang melakukan tindakan kekerasan seksual kepada 12 santriwati rata-rata berumur 16-17 tahun, mengakibatkan 8 orang sampai melahirkan, 2 orang sedang hamil.
P2G meminta aparat kejaksaan menuntut maksimal dan hakim di pengadilan memutuskan vonis setinggi-tingginya kepada tersangka.
“Hukuman maksimal penjara seumur hidup dan kebiri kimia bagi oknum guru, agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat, jangan sekali-sekali meniru perbuatan hina itu,” ungkap Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G.
Baca juga: Guru Perkosa 12 Santri, Ketua Komisi X DPR: Hukuman Harus Paling Berat
Iman melanjutkan, apalagi yang bersangkutan merupakan guru yang semestinya menjadi teladan, digugu dan ditiru, membangun karakter bagi muridnya.
“Pesantren atau lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman, nyaman, dan sehat untuk proses mendukung tumbuh kembang anak secara individual, intelektual, spiritual, dan sosial, bukan sebaliknya. Faktor inilah yang dapat menjadi pemberatan hukuman kepada oknum guru,” ujarnya.
P2G mengapresiasi langkah sigap Pemprov Jabar yang memberikan konseling dan pendampingan trauma healing bagi korban.
“P2G juga meminta LPSK memberikan perlindungan, ada potensi perundungan kepada korban atau saksi dari pihak tertentu, mengingat pelaku kan tokoh agama yang cukup disegani di kota Bandung,” lanjut guru madrasah ini.
P2G berharap masyarakat tidak menyalahkan korban dan keluarganya. Masyarakat mesti dididik untuk empati kepada keluarga korban kekerasan seksual, apalagi mayoritas mereka adalah usia anak di bawah 18 tahun.
Kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi.
Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada 2021, terjadi di satuan pendidikan agama baik status formal maupun non formal.
P2G mencatat kasus di 27 kota/kabupaten: Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel); Bintan (Kepri); Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulsel); Balikpapan (Kaltim); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jabar).
Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.
Iman menambahkan, rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun bahkan ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana. Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati.
“Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir,” pungkasnya.
HY