Oleh: Muhamad Yusuf Kosim
Channel9.id – Jakarta. Ali Zainal Abidin Bin Husain, cicit Baginda Nabi, tiba-tiba pingsan setelah mengenakan pakaian ihram akan berhaji. Lidahnya kelu tidak mampu mengucapkan kalimat thayyibah “Labbaik Allahumma labbaik”. Beliau pingsan saking takutnya, kalimat thayyibah yang akan diucapkannya tidak dijawab oleh Sang Maha Raja, Allah SWT. Selama pelaksanaan haji, Beliau berkali-kali pingsan. Demikian diungkap Imam Al Ghazali dalam kitabnya “Asrar Al Hajj” (Rahasia Haji).
Syahdan, Junaid Al Baghdadi —sufi besar asal Irak— terbangun dari tidurnya, saking kagetnya. Beliau bermimpi bahwa haji yang diterima saat itu hanya satu orang, yaitu tukang sol sepatu di Damaskus. Junaid Al Baghdadi adalah satu diantara enam ratusan ribu orang yang berhaji musim itu.
Penasarannya, Beliau telusuri tukang sol sepatu di Damaskus tersebut. Beliau dapati bahwa tukang sol sepatu tersebut telah mengumpulkan uang bertahun-tahun dari hasil kerjanya. Setelah dianggap cukup untuk berhaji, tukang sol sepatu menemukan tetangganya yang miskin yang tidak makan berhari-hari. Melihat itu tukang sol sepatu menyedekahkan semua uangnya untuk berhaji sambil berkata “inilah hajiku”. Junaid Al Baghdadi menangis.
Kita baru saja selesai berhaji musim ini. Ada sekitar tiga juta orang yang berhaji. Seberapa banyak dari yang berhaji itu hajinya diterima? Kelas maqam kedekatan kita dengan Tuhan tentu tidak sekelas Ali bin Husain, bukan juga sekelas Junaid Al Baghdadi. Kita hanya yakin bahwa haji kita diterima sesuai dengan sabda Baginda Nabi “Siapa yang berhaji, namun tidak yakin hajinya diterima, maka dosa besar”. Modal kita hanya itu. Itupun masih lumayan, jika kita yakin.
Secara dzohir, haji ibadah adalah ibadah unik. Orang yang berhaji berpakaian ihram, wukuf, mabit, melontar jumrah, tawaf, sa’i, dan tahalul (bercukur). Semua dilakukan hanya gerakan badan. Tidak ada bacaan-bacaan tertentu yang diwajibkan, kecuali berniat haji. Ibadah haji, ibarat mulut dijahit pun tanpa komat-kamit bacaan, sah hajinya.
Wukuf hanya berdiam diri di Arafah, boleh duduk, boleh berdiri, boleh mondar-mandir selama ada di Arafah. Menginap di Muzdalifah dan Mina, ya memang betul-betul menginap seperti kita menginap di rumah saudara atau teman, begadang juga boleh di sana. Asyik bukan! Lempar jumrah, hanya sekedar melempar 7 buah batu di setiap jumrah: ula, wustho, aqobah. Tawaf hanya keliling-keliling ka’bah sebanyak 7 kali, demikian Sa’i hanya jalan-jalan kaki 7 putaran dari Safa ke Marwah. Diakhiri dengan tahalul (bercukur).
Dari rangkaian itu semua yang hanya dibutuhkan adalah kekuatan fisik yang prima. Mudah bukan!
Namun haji lebih dari sekedar ibadah dzahir atau fisik. Haji adalah ibadah perjalanan ruhani. Haji sangat simbolik. Berpakaian ihram adalah simbolisasi dari kain kafan yang akan kita pakai nanti saat kematian. Wukuf di Arafah simbolisasi akan Padang Mahsyar. Ketika kita dibangkitkan, apa yang akan kita bawa? Semua sibuk dengan kediriannya. Sibuk dengan apa yang akan diharapkannya kepada Tuhannya, Sang Maha Raja. Apakah cukup atau tidak bekalnya yang akan dihadapkan kepada Tuhannya? Maka di dunia ini, wukuf di Arafah lah tempatnya untuk perbaikan diri kita. Mengingat masa lalu kita. Dan mempersiapkan bekal yang akan kita bawa kehadapan Tuhan nanti di Padang Mahsyar. Tidak salah dikatakan “Al hajju Arafatu”, haji itu adalah (wukuf) di Arafah.
Sedang lempar jumrah adalah kita melempar sifat-sifat setan yang ada dalam diri kita: koruptif, sombong, iri, dengki, emosi, hasut, ghibah, dll. Sifat-sifat syirik yang menduakan Tuhan. Men-Tuhan-kan selain Tuhan. Kita kembalikan diri kita ke “Laa ilaha illa huwa..” Kita talqin hati kita hanya ada ke Sang Maha Raja. Tidak ada selain itu.
Tawaf adalah bentuk ketaatan kita atas perintah Tuhan. Sebagaimana para malaikat di “alam malakut” di Baitul Makmur sana bertawaf dengan penuh ketaatan, tidak ada penolakan atas perintah. Imam Al Ghazali masih dalam kitab “Asrar Al Hajj” mengatakan ada persamaan antara Ka’bah yang di muka bumi sebagai tempat tawaf haji dengan Ka’bah di Baitul Makmur tempat tawafnya para malaikat. Bisa jadi bahwa Ka’bah disini adalah satu kesatuan dengan Ka’bah di Baitul Makmur. Wallahualam A’lam.
Sedangkan Sa’i adalah permohonan ampunan kepada Tuhan secara terus menerus yang tak kenal lelah. Sa’i juga merupakan bentuk pencarian identitas manusia. Diharapkan manusia akan semakin memanusiakan manusia, tanpa melihat asalnya, tanpa melihat perbedaan: warna kulit, agama, dan suku bangsanya. Bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan, menghina manusia berarti menghina pencipta-Nya.
Kemudian prosesi haji di akhiri dengan tahalul (bercukur), yang bermakna membersihkan diri dan hati kita. Membersihkan tauhid kita. Dengan bertahalul berarti hati, pikiran, dan tindakan kita serahkan kepada Allah. Tahalul mengunci semua prosesi haji dari awal hingga akhir.
Semua orang yang berhaji ingin mabrur. Berulang-ulang doa tersebut diungkap selama prosesi haji. Terlalu mudah jika kemabruran haji hanya dengan melakukan prosesi haji yang mudah dan sederhana seperti di atas. Kemabruran haji bukan saat kita melaksanakan haji atau tepat setelah selesai melaksanakan haji. Kemabruran haji adalah selamanya dari mulai kita selesai berhaji hingga kematian. Maka kemabruran haji dapat dilihat dari perilaku sehari-hari.
Banyak koruptor bergelar haji. Banyak pembunuh bergelar haji. Banyak orang yang menghina orang lain bergelar haji. Dan tidak sedikit orang berhaji untuk mendapat dukungan suara di pemilu. Banyak orang yang mencari rezeki tidak halal bergelar haji. Dan banyak-banyak lagi.
Perlu kita tanya dalam hati kita, apakah kita akan tetap seperti itu setelah berhaji? Apakah haji kita mabrur? Atau bisa jadi banyak orang yang tidak berhaji secara fisik ke Mekkah lebih diterima hajinya dibandingkan yang berhaji secara fisik ke Mekkah, seperti halnya tukang sol sepatu di Damaskus.
Akhirul kalam, semoga semua yang berhaji tahun ini semua mabrur. Hajinya semua diterima oleh Allah. Sehingga membawa kedamaian dan kasih sayang untuk semua, di langit dan di bumi.
Makkah Al Mukarromah.(30.09.2018)
Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI