Channel9.id – Jakarta. Pengamat Kebijakan Publik, Ucok Sky Khadafi menyoroti mahalnya biaya distribusi dan regasifikasi gas yang melibatkan BUMN. Pasalnya total biaya-biaya yang muncul mencapai USD 10 MBTU lebih. “Biaya tersebut terlalu mahal, karena begitu banyak komponen yang dimasukan, harusnya kalau sesama BUMN bersinergi bukan malah saling “merampok”, jelasnya. Hal tersebut disampaikan Ucok kepada media di Jakarta, 15/10/2023
Biaya distribusi dan regasifikasi gas untuk pembangkit listrik di Indonesia memang tergolong mahal. Seperti misalnya yang terjadi di Tanjung Benoa yang menyuplai PLTG Pesanggaran, dan juga di PLTG Belawan, Sumatera Utara.
Menurut Ucok sejumlah komponen biaya yang dibebankan sehingga harga gas menjadi begitu mahal sampai ke user. Diantara nya adalah biaya angkut LNG dengan kapal, regasifikasi, sewa lahan dan jasa serta pajak. Untuk totak biaya pengapalan LNG dari Bontang dan biaya regasifikasi di Terminal Penerimaa dan Regsifikasi LNG Tanjung Benoa saja mencapai US$ 4/MMBTU.
Mahalnya harga gas yang ditetapkan Pelindo 3 di Tanjung Benoa tersebut disinyalir berdampak kepada beban PT PLN. Akibatnya IP (Indonesia Power) yang mengelola PLTG Pesanggaran tidak bisa beroperasi dengan efisien, biaya produksi listrik menjadi mahal, tarif untuk masyarakat pun menjadi susah diturunkan.
“ Kondisi ini diperparah pemain di sektor bisnis ini, cenderung dikuasai oleh pihak tertentu, sehingga tidak ada iklim kompetisi yang sehat,”ujarnya.
Ucok mensinyalir tidak adanya kompetisi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga gas untuk pembangkit listrik menjadi sangat mahal. Bisnis distribusi dan terminal dikuasai oleh BUMN Pelindo, swasta tidak banyak yang terlibat. “Akan berbeda halnya jika pemain di sektor distribusi ini banyak, maka harga gas pun bisa dibuat lebih kompetitif,” ujarnya.
Sehingga pemain besar seperti halnya Pelindo tidak bisa seenaknya menetapkan biaya-biaya. Sektor swasta harus juga dilibatkan tidak hanya BUMN saja. Namun memang tidak mudah, karena BUMN seperti halnya Pelindo berusaha untuk mempertahankan penguasaan terhadap bisnis distribusi dan regasifikasi LNG.
Seperti yang terjadi di Tanjung Benoa, Bali, hingga saat ini pemain yang menyediakan regasifikasi LNG hanya Pelindo, ketika ada pihak lain yang ingin masuk dipersulit dengan berbagai cara. Akibatnya PLN tidak memiliki pilihan kecuali dengan Pelindo.
Padahal sebenarnya Perumda Bali melalui PT Dewata Energi Bersih (DEB) bersiap untuk menjadi penyedia terminal khusus LNG di Bali. Dengan memberikan fasilitas harga yang lebih murah ketimbang Pelindo. Namun hingga saat ini masih terkendala perijinannya. Akhirnya PLN tidak memiliki pilihan terkecuali dengan Pelindo.
“Praktek bisnis yang seperti ini sangat disayangkan, PLN berhak untuk mencari pembanding harga yang lebih murah, sehingga bisnis PLN bisa lebih sustainable, tidak terbebani dengan harga yang mahal,” jelas Ucok.
Sementara Fahmi Radhi, Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada menyampaikan harga yang dipatok Pelindo III bisa mencapai lebih USD10 per MMBTU (Millions British Thermal Units), jauh di atas tarif harga negara-negara lain misalnya Malaysia yang hanya USD6 per MMBTU. Menurut dia, tarif yang ditetapkan Pelindo III untuk distribusi gas cair ini terlalu banyak memasukkan komponen-komponen yang tidak relevan.
“Misalnya biaya sewa tanah, pajak dan lain sebagainya, itu dimasukkan juga. Ini enggak relevan. Harganya bisa di atas USD 10 per MMBtu. Padahal di luar, misalnya di Malaysia itu hanya USD6 dolar per MMBTU. Ini cukup jauh,” ujar Fahmi.
Salah satu yang menjadi faktor kenapa harga gas menjadi mahal, karen pemain distributor hanya dikuasai pihak tertentu.
“Tapi ini Pelindo pemain yang cukup besar satu-satunya sehingga bisa seenaknya menetapkan biaya tadi. Hampir tidak (swasta) yang main. Kalau di hulu agak lumayan banyak, asing juga banyak. Tapi kalau yang mendistribusikan dari sumber gas ke konsumen akhir itu lebih banyak itu pemainnya BUMN dan tidak banyak pemainnya. Itu semacam oligopoli sehingga bisa bebas menetapkan berapapun biayanya,” tegasnya.
Akibatnya sangat merugikan PT PLN. Sebab konsekuensinya perusahaan pelat merah itu membeli harga gas yang mahal, maka ini akan menaikkan harga pokok penyediaan listrik.
“Harga keekonomiannya menjadi mahal. Tapi PLN kan gak bisa seenaknya menetapkan harga atau tarif listrik karena itu domain pemerintah. Sehingga yang ditanggung itu besar, ini bisa membuat PLN rugi dalam penggunaan gas untuk listrik tadi. Mungkin dia masih untung dalam listrik yang berasal dari batubara. Tapi di gas di energi bersih jadi mahal. Ini saya kira dilema bagi PLN,” pungkasnya.