Channel9.id – Jakarta. Diplomat senior RI, Sugeng Rahardjo menerbitkan buku terbarunya berjudul ‘Healing the World: Mendinginkan Api Perang Dunia III’. Buku ini menjadi karya Sugeng yang hadir untuk membuka cakrawala pembacanya mengenai hiruk pikuk pergaulan diplomasi dunia.
‘Healing the World: Mendinginkan Api Perang Dunia III’ merupakan buku keduanya yang berbicara tentang perjalanannya sebagai diplomat, setelah sebelumnya ia meluncurkan buku ‘Unboxing Tiongkok’ pada 2021.
Sebagai seseorang yang sudah berkecimpung di dunia diplomasi selama 40 tahun, ketajaman analisa Sugeng dalam membaca situasi global memang sulit untuk diragukan.
Dalam buku yang diterbitkan dalam dua jilid itu, Sugeng memberikan pandangannya terhadap situasi global, termasuk Indonesia, berdasarkan berbagai pengalaman konflik dan masalah yang pernah menyelimuti dunia. Bahkan, Sugeng tak melepaskan analisanya dari konteks masa kini, tepatnya saat dunia diguncang pandemi Covid-19.
Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang diplomat, ada lima tantangan yang akan dihadapi oleh dunia internasional ke depan, baik oleh generasi saat ini maupun yang akan datang.
Hal itu disampaikan Sugeng dalam acara perilisan dan diskusi bukunya bertajuk “Sugeng Rahardjo – Healing The World”. Adapun acara tersebut diselenggarakan oleh Al Azhar Youth Leader Institute (AYLI) Indonesia di Hotel Grand Whiz Poins Simatupang, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (26/6/2023).
“Pertama, dunia akan tetap dikuasai oleh neokolonialisme dan neoliberalisme, di mana hal ini umumnya menerapkan kebijakan bahwa harus memiliki ada yg menang dan ada yang kalah,” tutur mantan Duta Besar RI untuk Afrika Selatan itu.
Oleh karena itu, menurutnya, sejak Perang Dunia II sampai saat ini, hal yang dikembangkan oleh negara-negara maju yang menguasai dunia adalah kebijakan persaingan yang menciptakan kesenjangan.
Menurut Sugeng, hal ini dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan, baik di tataran nasional, regional dan global.
Kedua, menurut Sugeng, peperangan antar negara dan perang saudara terus terjadi di berbagai belahan dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II. Hal ini menyebabkan gelombang pengungsi yang tiada hentinya.
“Kalau kita amati di kawasan kita, pada akhir tahun 1970-an dan awal-awal 1980-an, kita mendengar yang namanya boat people yang datang dari Vietnam akibat dari perang antara Amerika serikat dan Vietnam. Demikian juga di Afrika, Amerika Latin. Bahkan saat ini di Eropa akibat dari Perang Ukraina dan Rusia,” beber Sugeng.
Kemudian, yang ketiga menurut Sugeng adalah munculnya ekstrimisme dan ideologis agama. Ia menilai, hal ini disebabkan bahwa demokrasi yang diharapkan menghadirkan kesejahteraan rakyat, justru memunculkan kekerasan di mana-mana.
“Saya mengambil contoh, proses demokratisasi di Argentina yang saya ikuti dari tahun 1985 sampai saat ini. Walupun awalnya (demokrasi) berjalan mulus, setiap waktu, Argentina menghadapi krisis satu ke krisis yang lain yang akhirnya menimbulkan ketidakpecayaan dan ketidakpuasan kepada pemerintah maupun pada sistem politik yang berdasarkan demokrasi,” ujarnya.
Sugeng menilai, hal ini karena apa yang diterapkan oleh Amerika dan negara-negara maju semua apa yang terjadi di dunia ini harus semuanya sama. Ia berharap masalah ini menjadi pelajaran tersendiri bagi Indonesia ke depan.
Tantangan keempat, menurut Sugeng, yakni kehancuran lingkungan hidup. Berdasarkan pengalamaannya, ia memandang bahwa negara maju tidak berkomitmen untuk menyelesaikan masalah kehancuran lingkungan hidup.
“Komitmen-komitmen yang sudah disampaikan oleh negara maju tidak mulus berjalan karena negara-negara maju itu tidak komitmen terhadap apa yang telah disampaikan. Apalagi dengan perang dari Ukraina dan Rusia yang menyebabkan negara maju kembali ke tenaga listrik batu bara,” tutur Sugeng.
Kelima, Sugeng memandang bahwa inovasi dan teknologi yang harusnya digunakan untuk memerangi kemiskinan dan mensejahterakan kehidupan rakyat, ternyata dilakukan oleh negara-negara maju untuk memproduksi mesin perang dan mesin pemusnah masal.
“Ini tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh ummat manusia termasuk Indonesia ke depan,” ungkap mantan Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Tiongkok.
Dalam situasi seperti ini, menurutnya, kepentingan diplomasi Indonesia harus mampu meningkatkan peran Indonesia sebagai aktor akhir dalam menjaga dunia terhindar dari Perang Dunia III yang akan mengarah pada perang senjata nuklir dan pada akhirnya memusnahkan seluruh kehidupan di dunia ini.
“Di samping itu, melalui diplomasi Indonesia harus mampu menciptakan kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya keamanan bahan pangan dan keamanan Indonesia,” bebernya.
“Dalam kaitan ini, tantangan para diplomat Indonesia tidak boleh lelah untuk membuka langkah baru yang mendorong kesetaraan, kerjasama, kolaborasi, serta membuka kesempatan pembangunann yang memakmurkan seluruh negara,” imbuh Sugeng
HT