Channel9.id-Jakarta. Seluruh pelaku pendidikan harus beradaptasi dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama virus corona (SARS-CoV-2) masih mewabah.
Di Indonesia sejak Maret akhir hingga kini PJJ masih berlansung. Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengabarkan bahwa sekolah akan kembali dibuka mulai pertengahan Juli. Namun, itu pun belum pasti.
Selama PJJ berjalan, banyak tantangan dan hikmah yang bisa didapat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Karim Suryadi, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, di acara Webinar Internasional Pendidikan bertajuk “Praktik Baik Pengelolaan Pendidikan di Tiga Negara Pada Masa Pandemik Covid-19” via Zoom, Kamis (14/5).
“Begitu kita memasuki belajar di rumah (red: PJJ), semua elemen mendadak online. Pada awalnya ada yang gagap. Tetapi kita bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, dari berbagai challenge membikin kita berpikir kreatif. Selain itu, banyak orang yang beramal juga,” ucapnya.
Menurut Karim, pandemi memicu pembelajaran otentik dan memang hakikat pendidikan harus didapat oleh murid. Ia melanjutkan, dengan begitu siswa bisa mendapat pengalaman hidup yang lebih bermakna, tidak tertekan oleh target kelulusa, menyenangkan dan punya kecaakapan hidup.
Selain itu, ia pun mengatakan, selama PJJ siswa lebih sering di rumah. Kendati begitu, ia mengakui memang tidak mudah bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak. Sebab lebih sulit memanajemen waktu.
“Ini mengembalikan peran rumah sebagai sekolah. Kita melihat semua orangg tua telibat dalam pembelajaran anaknya, menjadi guru, membuat model dan melakukan pendekatan agar anaknya mau belajar. Meski ada efek samping, kita mesti sadar hakikat orang tua di rumah adalah sebagai guru bagi anaknya,” katanya.
Selain itu, anak pun bisa melakukan hal apa pun yang dia mau dan belajar dari mana saja atau multiliterasi.
Menurut Karim, seorang anak bisa mendapat sistem penghargaan yang tinggi terhadap individualitasnya justru pada masa pandemi. Anak-anak pun bisa belajar secara kontekstual di rumahnya. “Misalnya, guru matematika menyuruh anak untuk mengukur jumlah garam di rumah dan menghemat listrik. Jadi mereka langsung belajar,” terangnya.
Mengutip suatu teori didaktik, Karim mengatakan bahwa cara belajar dengan melakukan sesuatu dan memecahkan masalah merupakan hakikat dari freedom learning. “Jadi merdeka belajar yang di-announce oleh Pak Menteri itu sudah ada di dunia pendidikan sejak tahun 80-an. Belajar di rumah juga memberi kesempatan belajar dan bermain bersama keluaga. Karena sesungguhnya dunia anak-anak adalah dunia bermain,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kondisi psikologis anak perlu dipantau. Sebab hal ini penting agar semangat belajar siswa tetap terjaga. “Banyak murid yang mengaku senang karena santai dan bisa mengerjakan tuagas di kamar, namun mereka bosan karena tidak ketemu teman. Mereka pun ada yang mengaku tidak bisa menanyakan tugas yang mereka tidak mengerti, orang tua pun tidak paham,” lanjut dia.
Ia pun menegaskan, kendati anak di bawah generasinya diklaim sebagai penghuni asli di era digital, orang yang lebih dewasa harus menanamkan nilai nilai yang tidak bisa ditawar, yaitu tentang rasa kasih sayang, toleransi, dan empati. “Oleh karena itu, mereka jangan menghamba pada teknlogi dan kehampaan ketika bergaul dengan teknologi,” pungkasnya.
(LH)