Channel9.id-Jakarta. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menilai bahwa sistem pengambilan kebijakan terkait pandemi Covid-19 oleh pemerintah rawan penyimpangan. Dia mencontohkan, lewat Undang-undang No. 2 Tahun 2020 memberikan begitu kewenangan yang sangat besar kepada Menteri Keuangan untuk mengalokasikan anggaran.
“Seminggu lalu masih 600-an triliun tapi sekarang kita mendengar 900 triliunan lebih (untuk penanganan pandemi Covid-19). Pertama, ini adalah suatu kebijakan dengan turunan-turunannya yang sangat tertutup. Kita tidak menemukan akses yang memadai untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan kesehatan, belanja kesehatan, belanja bansos, kemudian perbaikan sektor ekonominya. Kita tidak menemukan informasi memadainya,” ujar Adnan dalam diskusi daring bertajuk Menakar Efektifitas Anggaran PSBB (Kesehatan, Perlindungan Sosial, dan Pemulihan Ekonomi) pada Kamis (25/6).
Sebenarnya, lanjutnya, informasi secara umum itu ada, akan tetapi detailnya itu sulit didapatkan.
“Bahkan, kami harus menggunaan UU KIP (Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik) untuk meminta informasi-informasi itu kepada lembaga terkait, termasuk kepada kementerian keuangan,” tambah Adnan.
“Kemudian akuntabilitas pada aspek planning dan pelaksanaan programnya juga sangat minim karena tidak banyak update dari penggunaan belanja anggaran yang sekarang sedang dilakukan,” sambungnya.
Selain itu, UU No. 2 itu juga memberikan impunitas para pengambil kebijakan, yang berdampak pada penyelewengan kebijakan.
“Maka dari itu, muncul beberapa masalah yang sudah kita lihat hari ini, termasuk kebijakan kartu prakerja itu,” imbuhnya.
Situasi pandemi, lanjut Adnan, banyak bermunculan asumsi-asumsi penyimpangan karena prosedur banyak dipangkas. itu lebih mudah dilakukan.
“Prosedur pengambilan kebijakannya dipangkas karena untuk mendapat respon yang cepat. Nah, padahal dalam situasi normal prosedur itu untuk mencegah penyimpangan. Ini yang kemudian dihilangkan,” jelasnya.
Dia juga melihat kejanggalan lain soal kewenangan penanganan pandemi tersebar ke banyak lembaga.
“Pertanyaannya, kok BIN ikut-ikutan terlibat dalam penanganan pandemi ini. Budgetnya dari mana, berapa alokasi dana yang mereka gunakan untuk ini dsb,” ucap Adnan.
Padahal, menurutnya, penyimpangan ini juga menjadi lebih besar ketika transparansinya tidak dijamin.
“Disamping itu, akurasi data yang digunakan itu juga rendah. Bicara bansos ketika ada kekisruhan di lapangan ini cerminan dari akurasi data tidak cukup baik. Tidak ada update data yang berhak menerima bantuan. Sementara aspek lain tidak ada data untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang sekarang sedang berjalan,” tandas Adnan.
Apalagi, saat ini fondasi utama penanganan pandemi diletakkan kepada birokrasi. Sementara birokrasi sebagai institusi di Indonesia masih lemah.
“Saya kira ini juga akan menciptakan potensi korupsi yang sangat besar,” pungkasnya. (IG)