Oleh: Hardy R. Hermawan*
Channel9.id-Jakarta. Ia pernah berkata pada saya saat wawancara untuk bukunya, pada 2017 silam. “Kenangan adalah sesuatu yang unik… Buku ini memberi saya peluang untuk menyimpan kenangan lebih lama. Tanpa kenangan, hidup akan lebih cepat berakhir.”
Saya mengingat kata-kata itu dengan getir, pagi ini, setelah mendengar Mayor Jenderal (Purn) Dr (HC). I Gusti Kompyang Manila berpulang pada 18 Agustus 2025. Saya ingin menulis bahwa hidupnya selesai, tapi ia sendiri sudah lebih dulu membantahnya: ia akan akan terus hidup—dalam ruang kenangan orang-orang yang mencintainya.
Kenangan saya tentangnya bermula dari Prof. Nunung Nuryartono, dosen saya di Pascasarjana IPB, kini Deputi di Kemenko PM. Tahun 2016, Prof. Nunung dan Jenderal Manila sama-sama menjadi Sekretaris Anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Waktu itu, Prof. Nunung jatuh sakit, cukup keras. Di tengah situasi yang rapuh, Manila—yang bahkan belum pernah berkenalan langsung dengan Prof Nunung—datang membantu, ikut memastikannya kembali pulih.
Dari situ, saya dan Edy Budiyarso menulis buku biografi untuk ulang tahunnya yang ke-75. Kami jadi mengerti, Manila memang mempunyai banyak sebutan: Jenderal, Panglima Gajah, Bapak Wushu Indonesia, Manajer timnas emas 1991, Penggerak Persija juara 2001, Gubernur Akademi Bela Negara NasDem, atau orang dengan banyak hobi: pisau, anjing, naik gunung, hingga radio amatir yang amat digilainya. Tapi bagi mereka yang mengenalnya dari dekat, sebutan yang lebih abadi baginya adalah “manusia yang mudah dicintai”. Saya hanya sedikit kesal karena ia sangat menyukai Manchester United. Itu saja.
Manila bisa keras, disiplin, penuh wibawa. Tapi dalam diamnya, ia hangat, bahkan kadang bergaya tak terduga. Di sebuah perhelatan radio amatir, dia pernah begaya slengean untuk menurunkan dukungan anggota kepada dirinya sehingga ia tak terpilih menjadi ketua umum—demi harmonisasi organisasi, secara internal dan dengan pemerintah.
Dalam setiap perannya, Manila selalu bersedia untuk berbagi—baik berupa tenaga, pikiran, maupun sekadar waktu mendengarkan. Sosoknya yang kadang nyentrik kerap membuat orang lupa bahwa ia perwira elit militer yang pernah terlibat dalam berbagai operasi berbahaya di Kalimantan (Dwikora), Timor-timur, hingga memimpin bagian Kontingen Garuda ke timur tengah.
Dia selalu mengenang kedekatannya dengan Bung Karno saat mengawal sang Presiden di Wisma Yaso, di masa-masa Soekarno menulis penjelasan Nawaksara. Ia juga punya pengalaman berinteraksi langsung dengan Presiden Soeharto hingga dipercaya menjadi pejabat eselon satu menjelang reformasi 1998. Ia mengaku banyak mengambil ilmu dari manusia-manusia terbaik yang hadir dalam hidupnya.
Manila lahir di Singaraja, Bali, pada 8 Juli 1942. Di sebuah masa ketika pulau kecil itu masih dalam bayang-bayang perang dunia. Indonesia yang belum tercatat dalam peta mulai memasuki pahitnya pendudukan Jepang. Ayahnya berpulang ketika Manila masih kecil dan ia tumbuh dalam kemiskinan yang pekat.
Masa kecil Manila adalah rangkaian duka. Ia berjalan tanpa alas kaki ke sekolah dan malu karena tak mampu membeli buku atau seragam. Namun dari semua kekurangan itu, ada satu kekuatan yang terus menopangnya: cinta ibunya —seorang perempuan tangguh yang menjadi pusat semesta hidupnya. “Saya tidak pernah bisa melupakan wajah ibu. Ia bekerja apa saja untuk anak-anaknya. Ia tidak hanya melahirkan saya, tapi juga membentuk saya,” ujarnya. Ibunya adalah alasan ia pernah tidak menyerah dalam hidup.
Manila sebenarnya tak pernah bermimpi menjadi tentara. Sebagai anak kecil, ia lebih membayangkan dirinya menjadi atlet. “Saya tergila-gila pada olahraga. Tapi saya tak berbakat di satu cabang pun. Saya hanya suka berolahraga.”
Pangkat dua bintang di pundaknya ia sebut bukan cita-cita, melainkan “garis tangan.” Ia masuk militer, meniti karier di Korps Polisi Militer, dan suatu hari direkrut dengan cara paling aneh: diculik, dalam arti yang harafiah.
Di sebuah malam, di London, ia tiba-tiba disekap sekelompok orang. Manila sempat mengira akan dihabisi. Namun ternyata itu adalah cara militer merekrutnya untuk pelatihan intelijen di negeri orang. Pengalaman itu menempanya. Dari sana ia belajar: intelijen bukan soal senjata, tapi ketahanan jiwa menghadapi ketidakpastian. Sejak itu, dunia rahasia intelijen melekat pada dirinya.
Cerita paling menakjubkan dalam catatan dinasnya adalah Operasi Ganesha. Pada 1982, di Air Sugihan, Sumatera Selatan, gajah liar merusak ladang transmigran. Manila yang waktu itu Letnan Kolonel, ditunjuk memimpin operasi memindahkan ratusan gajah itu ke Lampung. Berbulan-bulan lamanya ia dan pasukan menghadapi amukan para raksasa, kocar-kacir ketika gajah-gajah itu tiba-tiba beringas, lalu terus menggiring satwa raksasa tersebut melewati rawa, hutan, sungai, dan jurang, tanpa pernah sekalipun mandi. Bau badannya tak ubahnya bau gajah. “Pak Try mau muntah mencium bau saya,” katanya sambil terkekeh. Pak Try yang ia maksud adalah Jenderal Try Soetrisno, Wakil Presiden RI 1993-1998, yang sewaktu Operasi Ganesha adalah Pangdam Sriwijaya.
Hingga hari ini, tidak ada satupun perwira militer lain di dunia yang pernah memimpin operasi semacam itu: operasi militer tanpa senjata, menyelamatkan manusia, alam, sekaligus satwa.
Kenangan orang juga banyak melekat pada satu malam di sebuah kota yang menginspirasi ayahnya memberi nama pada dirinya: Manila, ibu kota Filipina, pada 1991. Ia menjadi manajer timnas sepakbola Indonesia di ajang SEA Games, dalam laga final melawan Thailand. Pertarungan berakhir dengan adu penalti dan Indonesia menang.
Kemenangan itu dipenuhi banyak drama. Manila bekerja keras menjauhkan “babi-babi suap” dari skuadnya selama kejuaraan. Ia juga pasang badan ketika pelatih mencoret salah satu bintang sepakbola nasional paling top saat itu. Arsip akan mencatat, Sea Games 1991 adalah masa terakhir timnas sepakbola senior Indonesia menjadi juara di ajang resmi internasional. Lebih dari tiga dekade kemudian, gelar timnas senior itu belum tergantikan,
Setahun kemudian, takdir kembali menautkannya dengan sejarah. Sebagai Ketua Administrator dan Keuangan Kontingen Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992, ia menjadi deputy chef de mission, mengurus semua kebutuhan administratif kontingen.
Di Barcelona itulah, untuk pertama kalinya Indonesia meraih medali emas Olimpiade. Susi Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan emas yang membuat Merah Putih berkibar tertinggi. Manila, si “atlet yang tak berbakat,” justru hadir di dua momen emas olahraga Indonesia: SEA Games 1991 dan Olimpiade 1992.
Tahun 2001, ia kembali memberi catatan emas, kali ini di dalam negeri. Sebagai manajer, ia membawa Persija Jakarta juara Liga Indonesia. Lima tahun sebelumnya, ia juga membawa Bandung Raya menjadi juara Liga Indonesia. Di saat bersamaan, ia juga dikenal sebagai Bapak Wushu Indonesia, membesarkan cabang olahraga bela diri itu hingga dikenal luas. Dari sepak bola ke bela diri, dari timnas ke klub, ia meninggalkan jejak yang melampaui generasi.
Begitulah, hidupnya memang penuh ironi. Ia tumbuh dalam kemiskinan lalu menjadi seorang jenderal. Pernah menjadi loper koran hingga digigit anjing pelanggan tapi lantas menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan. Pernah ditolak masuk akademi pemerintahan tapi malah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan meningkatkan strata STPDN dari D3 menjadi D4. Ia tak berbakat olahraga, tapi namanya terukir dalam sejarah olahraga Indonesia. Ia tentara yang disiplin, tapi paling diingat karena kebaikan dan kelembutannya. Baginya, hidup adalah hal yang serius, tapi tetap bisa ditertawakan.
Ketika tubuhnya menyerah pada usia, ia berpulang di RS Bunda, Menteng, Jakarta Pusat, 18 Agustus 2045. Tapi, seperti yang ia ucapkan dulu, kenangan akan memperpanjang hidupnya. Membuatnya tetap ada dalam banyak cerita, di lapangan hijau, di ruang ganti Persija, dalam senyum para kader ABN, dan dalam hati orang-orang yang ia tolong bahkan sebelum mereka sempat menyebutnya kawan.
IGK Manila adalah jenderal, manajer, penggerak olahraga, pendidik, dan sahabat. Tetapi lebih dari itu, ia adalah manusia yang sangat mudah dicintai. Dan barangkali, itu adalah bentuk keabadian yang paling sederhana. Ia akan terus bersama kita. Terima kasih, Jenderal. Selamat jalan.
Baca juga: IGK Manila Wafat, Tokoh Sepak Bola, Wushu, dan Komandan Operasi Ganesha
*Wartawan. Pada 2017, bersama Edy Budiyarso, menulis biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara