Channel9.id – Jakarta. Imparsial mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi perintah kepada Panglima TNI Yudo Margono untuk mengevaluasi Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro yang menyatakan TNI berwenang memberikan bantuan hukum kepada keluarga prajurit.
Sebab, menurut Imparsial, Laksda Kresno telah salah dalam menafsirkan aturan perundang-undangan terkait kasus Mayor Dedi Hasibuan beserta anggota TNI Kodam I Bukit Barisan yang mengeruduk Polrestabes Medan Sumatera Utara, Sabtu (5/8/2023) lalu.
“(Mendesak) Presiden memerintahkan Panglima TNI untuk mengevaluasi Kababinkum TNI yang telah salah dan keliru menafsirkan aturan perundang-undangan sehingga menimbulkan polemik hukum dan dikhawatirkan membenarkan perilaku Prajurit TNI untuk menjadi penasihat hukum di peradilan umum,” kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (12/8/2023).
Gufron tak menyangkal bahwa setiap orang, tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI, berhak mendapatkan bantuan hukum, sebagaimana amanat Pasal 27 UUD NRI 1945.
Selain itu, jaminan bantuan hukum secara khusus bagi lingkungan TNI ditegaskan dalam Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer maupun koneksitas.
“Kami memandang, keseluruhan pasal yang disebutkan di atas harus dipahami sebagai adanya jaminan negara kepada siapapun termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI untuk memperoleh bantuan hukum,” ujarnya.
Namun, Gufron menyatakan dasar hukum yang disebutkan Laksda Kresno Buntoro terkait kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971, salah dan keliru. Sebab, lanjut Gufron, SEMA No. 2 Tahun 1971 melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952.
“Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya,” jelas Gufron.
Selain itu, Gufron menyampaikan aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 tahun 1971, sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam UU Advokat, disebutkan bahwa pemberi bantuan hukum/pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara itu, lanjutnya, dalam KUHP Pasal 92 ayat (3), disebutkan bahwa semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.
“Oleh karena itu merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat,” tegas Gufron.
Selain mendesak Presiden Jokowi, Imparsial juga mendesak Panglima TNI Yudo Margono untuk melarang anggota TNI untuk bertindak sebagai advokat di peradilan umum
“Jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan peran TNI harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegas Gufron.
Imparsial juga mendesak Presiden Jokowi untuk merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut Gufron, kerancuan hukum dalam kasus penggerudukan Polrestabes Medan tersebut juga diperparah oleh keengganan pemerintah yang belum juga merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sehingga, hal ini menciptakan silang sengkarut penegakan hukum di Indonesia.
“(Mendesak) Presiden Joko Widodo, segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, yang telah menyebabkan disharmoni dan kontradisksi norma dan penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Nawacita Presiden sejak tahun 2014,” pungkas Gufron.
Baca juga: Imparsial Sebut Kababinkum TNI Tak Paham Aturan Hukum
Baca juga: Imparsial: Dugaan Pelanggaran HAM Diselesaikan dengan Sistem Hukum Bukan Sumpah Pocong
HT