Channel9.id – Jakarta. Direktur Imparsial Gufron Mabruri menanggapi pernyataan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro yang mengatakan TNI berwenang memberikan bantuan hukum kepada keluarga prajurit. Menurut Gufron, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Laksda Kresno tidak memahami secara komprehensif aturan hukum terkait peran TNI dalam proses penegakan hukum.
Untuk diketahui, Laksda Kresno Buntoro menyatakan hal tersebut sebagai buntut dari kasus Mayor Dedi Hasibuan beserta anggota TNI Kodam I Bukit Barisan yang mengeruduk Polrestabes Medan Sumatera Utara, Sabtu (5/8/2023) lalu.
“Hal itu dapat dilihat dari adanya pemahaman yang salah dan keliru terhadap beberapa aturan terkait bantuan hukum,” ungkap Gufron Mabruri dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (12/8/2023).
Gufron menyatakan dirinya tak menyangkal bahwa setiap orang, tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI, berhak mendapatkan bantuan hukum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 16 dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik), serta amanat Pasal 27 UUD NRI 1945.
Selain itu, kata Gufron, pengaturan tentang bantuan hukum bagi masyarakat secara umum diatur kembali dalam Pasal 69 KUHAP, Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang pada intinya setiap orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan bantuan hukum.
Meski begitu, Gufron mengatakan jaminan bantuan hukum secara khusus bagi lingkungan TNI kembali ditegaskan dalam Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer maupun koneksitas.
Jaminan tersebut juga kembali ditegaskan UU TNI dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f yang menyatakan bahwa salah satu rawatan dan layanan kedinasan bagi prajurit dan prajurit siswa adalah bantuan hukum. Selanjutnya, kata Gufron, Pasal 50 ayat 3 menyebut keluarga prajurit memperoleh layanan kedinasan salah satunya yakni bantuan hukum.
“Kami memandang, keseluruhan pasal yang disebutkan di atas harus dipahami sebagai adanya jaminan negara kepada siapapun termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI untuk memperoleh bantuan hukum,” ujarnya.
“Pasal-pasal tersebut jika dicermati tidak ada yang menyebutkan adanya pemberian kewenangan kepada prajurit TNI untuk dapat memberikan pendampingan/ bantuan hukum dalam lingkup (yurusdiksi) peradilan selain peradilan militer dan peradilan koneksitas,” tegas Gufron.
Selain itu, Gufron menyatakan dasar hukum yang disebutkan Laksda Kresno Buntoro terkait kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971 juga salah dan keliru. Sebab, lanjut Gufron, SEMA No. 2 Tahun 1971 melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952.
“Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya,” jelas Gufron.
Selain itu, Gufron menyampaikan aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 tahun 1971, sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam UU Advokat, disebutkan bahwa pemberi bantuan hukum/pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara itu, lanjutnya, dalam KUHP Pasal 92 ayat (3), disebutkan bahwa semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.
“Oleh karena itu merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat,” tegas Gufron.
Baca juga: Anggota TNI yang Geruduk Polrestabes Medan, Mayor Dedi Dibawa ke Jakarta
Baca juga: Imparsial Desak Penghentian Penambahan Kodam
HT