Ekbis

Importir Teriak Rugi: Kemacetan dan Aturan Tak Jelas Bikin Bisnis Tersendat

Channel9.id, Jakarta – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menilai para pemangku kepentingan jasa kepelabuhan belum menunjukkan keseriusan dalam mengatasi persoalan kemacetan dan ketidakpastian aturan yang kerap merugikan pelaku usaha.

Ketua Umum GINSI, Subandi, menyoroti kemacetan parah di Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok sebagai contoh nyata lemahnya manajemen dan koordinasi. Ia mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab atas kerugian materiil maupun imateriil akibat kemacetan tersebut.

“Kalau belum bisa menjawab itu, berarti belum serius. Kesepakatan yang selama ini dibuat hanya jadi formalitas tanpa dampak nyata,” ujar Subandi dalam pernyataannya, Rabu (28/5/2025).

Menurutnya, importir adalah pihak paling terdampak, apalagi saat momentum libur panjang seperti Lebaran lalu. Salah satu penyebabnya adalah tidak diterapkannya Permenhub No. 116/2016, yang mengatur pemindahan peti kemas yang tertimbun lebih dari tiga hari untuk mencegah penumpukan di terminal.

“Dwelling time masih tinggi, rata-rata 10 hari. Jika kontainer dipindahkan, arus keluar-masuk terminal bisa lebih lancar,” jelasnya. Namun, kebijakan perpindahan ini tetap bergantung pada ketentuan Bea Cukai, yang hanya mengizinkan relokasi jika Yard Occupancy Ratio (YOR) menyentuh 65%.

Subandi juga menyoroti Terminal NPCT.1 yang tidak memiliki buffer area, menyebabkan antrean panjang di jalan umum karena truk keluar-masuk menggunakan akses yang sama. Hal ini, kata dia, menjadi berkah bagi terminal karena mendapat tambahan pemasukan dari biaya penumpukan, tapi justru merugikan importir dan pelaku usaha.

Selain itu, GINSI menyesalkan tidak dijalankannya instruksi Pelindo terkait pemberian diskon 50% biaya penumpukan selama masa libur Lebaran. Importir tetap harus membayar penuh di awal dan menunggu proses restitusi yang memakan waktu lama.

“Penetapan libur yang panjang membuat distribusi barang menumpuk setelah Lebaran. Biaya transportasi melonjak hingga 150%, ditambah biaya tambahan Rp500.000 per truk karena larangan angkutan barang di sejumlah ruas jalan, padahal banyak gudang berada di kawasan yang terdampak larangan itu,” tutup Subandi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  15  =  20