Channel9.id – Jakarta. Kabar duka datang dari Makkah Al mukaromah, Kyai Sepuh/Romo Kyai Al Maghfurlah KH. Maimoen Zubair meninggal dunia saat sedang persiapan melaksanakan ibadah haji.
Kabar meninggalnya Mbah Moen pertama kali beredar melalui pesan whatsAp, namun kemudian terkonfirmasi oleh pemberitaan media dan Waketum PPP, Arwani Thomafi kepada detik.com.
Penulis yang pernah bertemu langsung dengan KH. Maimoen Zubair di rumahnya Pesantren Sarang, Rembang, merasakan sendiri betapa ulama kharismatik ini penuh lemah lembut dan penguasaan atas ilmu-ilmu agama sangat luas. Beliau yang akrab dipanggil Mba Moen, selalu dinanti dawuhnya oleh para santri dan banyak orang.
Nasehat dan petuahnya terasa menyejukkan dan mendinginkan suasana ketika terjadi masalah besar atau isu yang sedang menjadi bahasan banyak orang. Tidak jarang santri mengumpulkan pesan-pesan beliau sebagai motivasi pribadi ataupun sesama.
Ulama kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 28 Oktober 1928 (90 tahun) ini tidak hanya dihormati dan disegani oleh kalangan santri dan masyarakat umum.
Tetapi juga saja dihormati oleh kalangan tokoh-tokoh pemerintahan dan birokrat nasional. Meskipun begitu, tidak menjadikan beliau seseorang yang mengharapkan jabatan maupun materi duniawi.
Putra pertama dari Kyai Zubair dan ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib ini dikenal sebagai ulama yang alim dan teguh memegang pendirian. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan.
Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi sepadan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.
Mbah Moen rujukan ulama Indonesia, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul fiqih. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.
Ayahanda beliau, Kyai Zubair, adalah murid Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky.
Sekitar tahun 45, beliau memulai pendidikannya di Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang biasa dikenal sebagai Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Pada usia 21 tahun, beliau melanjutkan studinya ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanannya ke Makkah ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang kompeten di bidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, dan Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Kiai Maimun merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari tanah suci, beliau juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri, di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada di sisi kediaman beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Pesantren ini berada di Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.